Soal Putusan Gugatan Sistem Proporsional Terbuka, Kuasa Hukum Derek Loupatty Sebut Cacat Formil

Kuasa hukum pihak terkait Derek Loupatty, Heru Widodo.

JAKARTA – Kader Golkar Derek Loupatty, telah mengajukan diri sebagai Pihak Terkait atas Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 soal Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Kuasa hukum pihak terkait Derek Loupatty, Heru Widodo mengatakan meski secara formil Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili permohonan pengujian Pasal2 UU Pemilu terhadap UUD 1945 sebagaimana diajukan para Pemohon perkara a quo

Namun, Heru menilai secara materiil, dengan merujuk pada putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008, ternyata MK tidak pernah menyentuh soal keberlakuan norma sistem pemilu yang telah ditetapkan oleh DPR.

Putusan MK tahun 2008 tersebut membatalkan norma pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008, sedangkan norma sistem pemilu terdapat dalam pasal lain yang tidak ikut “digugat” kala itu. Norma sistem pemilu ditetapkan DPR dalam Pasal 5 ayat (1) UU 10/2008, “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”.

“Ini sekaligus mengurai benang kusut dan meluruskan isu berubahnya sistem pemilu tertutup ke terbuka pada Pemilu 2009, ternyata bukan karena Putusan JR di MK,” kata Heru Widodo.

BACA JUGA:   Lifting Migas Terus Menurun, Maman Golkar: PHE Belum Mampu Berkontribusi Terhadap Negara

Uji materi terhadap norma variabel sistem pemilu (ambang batas parliamentary threshold dan presidential threshold) dalam putusan MK sebelumnya Nomor 16/PUU-V/2007 dan Nomor 52/PUU- X/2012, oleh MK semuanya dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dari pembentuk Undang-Undang (open legal policy).

Juga terhadap pengujian jadwal pemilu dan model keserentakan pemilu dalam putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 dan putusan Nomor 16/PUU-XIX/2021, MK pun konsisten menyatakan sebagai open legal policy.

Berdasarkan Naskah Rapat Paripurna DPR tentang Pembahasan Dan Persetujuan RUU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, norma sistem pemilu proporsional terbuka berada dalam satu paket norma variabel sistem pemilu yang meliputi : 1) parliamentary threshold, 2) presidential threshold.

Sistem proporsional terbuka, 4) alokasi kursi, dan 5) metode konversi suara. Konklusinya materi muatan pasal 168 UU 7/2017 yang diuji merupakan norma variable sistem pemilu, yang dalam preseden putusan-putusan MK dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dari pembentuk Undang-Undang (open legal policy).

BACA JUGA:   Ramadan Tiba, Legislator Golkar Dorong Pemda Jaga Stabilitas Harga Pangan

“Dengan demikian, karena bukan soal konstitusionalitas norma, maka secara materiil bukan menjadi wewenang MK untuk memutusnya,” imbuh Heru Widodo.

Heru mengatakan soal kerugian konstitusional para pemohon, sampai persidangan ditutup, tidak ada bukti tambahan yang menunjukkan keikutsertaan para pemohon dalam proses pendaftaran bakal calon anggota legislatif 2024 di KPU.

“Fakta hukum ini terang benderang untuk membuktikan bahwa ternyata tidak
ada kerugian konstitusional yang dialami para pemohon,” kata Heru.

Terdapat cacat formil dalam Naskah Permohonan.

Pihak terkait menemukan adanya perbedaan tarikan garis tanda tangan yang diduga tidak ditandatangani sendiri oleh masing-masing kuasa hukum para pemohon, antara yang terdapat dalam permohonan dengan perbaikan permohonan.

“Kami sudah meminta klarifikasi dalam persidangan 23 Mei lalu, namun oleh MK diminta menuangkan dalam kesimpulan Dalam perkara uji UU IKN Perkara No 66/PUU-XX/2022, juga uji UU Minerba Perkara No 80/PUU-XVIII/2020, cacat formil serupa menjadi persoalan serius, dan berakhir dengan dicabutnya permohonan,” pungkas Heru Widodo.

(adista)