CHAOS

    Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH.

    Chaos (baca keos). Pemilihan Kepala Derah (Pilkada) serentak di 101 daerah yang diikuti lebih dari 14 juta pemilih, berjalan dengan lancar. Pilkada serentak yang digelar 15 Februari silam terlaksana dengan aman. Semua elemen masyarakat bersyukur, tidak ada gangguan keamanan dan permasalahan berarti di dalam pelaksanannya.Tidak ada insiden berat yang memerlukan perhatian khusus.

    Terkhusus DKI Jakarta, yang disebut sebut sebagai barometer dan etalase Indonesia juga berlangsung meriah. Bahwa ada putaran kedua, gugatan dan lain lain itu masih dalam koridor aturan yang menjadi dasar hukumnya. Kalah menang dalam Pilkada sudah diterima sebagai sesuatu yang memang harus berjalan demikian. Memang ada beberapa kejadian kecil yang tidak perlu dirisaukan. Dari pelajaran ini menunjukkan peerjalanan demokrasi yang semakin matang.

    Akar Kondisi

    Khususnya di media sosial, pada proses sebelum pencoblosan beredar berita yang mengarah pada kondisi chaos. Berbagai peristiwa, seperti pengerahan massa, kriminalisasi ulama dan unjuk rasa serta berbagai kejadian yang secara komunal disebut sebagai suasana panas telah terjadi. Kendatipun sempat membuat miris, rakyat yang mengikuti berbagai peristiwa itu sebagaimana dapat disimak di media massa baik elektronik maupun cetak sempat khawatir terjadinya chaos khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan.

    Istilah chaos itu sendiri, secara leksikal berarti kekacauan yang sangat. Kekacauan yang parah. Penyebabnya bisa berupa pelanggaran hukum berat yang melanda pada daerah tertentu, atau bencana, atau mungkin penyebab lain. Intinya mekanisme pemerintahan khususnya dan mobilitas sosial tiak berjalan sebagaimana amestinya. Sebagai akibat di hilirnya, kehidupan rakyat dilanda ketakutan kekhawatiran dan serba tidak nyaman.

    Di dalam chaos, hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Refleksi dari ketakutan rakyat diwujudkan dalam bentuk pelanggaran hukum secara massal. Kerusuhan massal yang tidak bisa dikendalikan oleh sistem yang ada, sehingga segala ssuatu menjadi kacau dan berada pada situasi keetidakpastian. Tiak dapat diprediksi keadaan demikian jangka waktunya, sebentar atau untuk jangka yang lama.

    Pada tataran teoretik, pada dasarnya chaos itu tidak terjadi secara tiba tiba. Berbagai komponen baik formal maupun non formal terkait eat dengan munculnya kondisi chaos ini. Chaos juga tidak terjadi dan hanya menjadi monopoli masyaakat heterogen yang berbhineka seperti Indonesia. 

    Keberadannya menjadi semacam momok bahkan di seluruh negara di dunia. Secara sederhana kemiskinan senantiasa ditunjuk sebagai biang munclnya kondisi chaos. Untuk sementara peningkatan ekonomi, peningkatan pendapatan perkapita dan tersedianya cukup sembako menjadi kunci kendatipujn temporer untuk mencegah chaos.

    Memahami chaos ternyata tidak semata dalam perspektif praktis atau teknis. Pada tataran teoretik, Chaos Theory pertama kali diperkenalkan oleh Charles Sampford dalam bukunya yang berjudul The Disorder of Law: A Critique of Legal Theory, tahun 1980 yang lalu. Ia tidak sendiri. Ada lagi ahli berikutnya, pada sekitar limabelas tahun kemudian yaitu Denis J. Brion. Pada tahun 1995 yang lalu ia dalam analisisnya tentang “The Chaotic Indeterminacy of Tort Law”, yang termuat dalam Radical Philosophy of Law, 1995 menulis tentang chaos ini.

    Kajian tentang ini kemudian bekembang dan menjadi dasar kajian hingga saat ini karena kar chaos pun terus berkembang sesuai perkembangan dan dinamika masyarakat. Tetapi substansi sebagaimana dikemukakan oleh Sampford, bahwa di dalam pergaulan sosial dimungkinkan untuk menemukan suatu sistem hukum dalam suatu masyarakat sebagai sumber dari ketidakteraturan. Ketidakterauran ini menjadi suber chaos. Bahkan dimungkinkan juga untuk menemukan suatu hukum yang tidak sistematik di dalam suatu masyarakat yang justru muncul pada masyarakat yang secara praktis tertata, seperti Indonesia.

    Bahwa pada dasarnya kehidupan sosial itu tidak hitam putih. Apalagi sebagaimana secara normatif dideskripsikan oleh hukum. Kenyataan yang terjadi di masyarakat, bahwa masyarakat tidak satu interpretasi terhadap suatu peraturan. Apresiasi terhadap suatu ketentuan hukum tidak seragam. Inilah sebagai sumber dari ketidakteraturan yang menjadi elemen substansial munculnya koncisi chaos.

    Ketimpangan praktik hukum atau penegakan hukum juga menjadi saham terbesar munculnya chaos. Interaksi hukum yang tidak mencerminkan keadilan, sebagaimana tercermin dalam tindakan aparat hokum seperti tebang pilih dan pilih kasih menjadi sumber kondisi chaos.

    Kecemburuan sosial yang muncul akibhat perlakuan tidak adil ini pada tahap berikutnya menimbulkan ketidakpastian hukum. Hukum tak lagi dipandang sebagai aturan yang harus dipatuhi, tetapi hanya asesori sosial. Keberadannya menjadi sarana penguasa untuk mengukuhkan kekuasaan dan alat melemahkan subyek hukum yang dipandang sebagai lawan.

    Tindakan yang bermuara pada arogansi kekuasaa inilah yang juga menjadi sumber potensial dari keadaan chaos.

    Pada pespektif lain, bahwa bukan berarti dalam pertiwa chaos itu tidak ada ada keteraturan. Namun justru keteraturan ini yang kemudian pelahan tergerus oleh kondisisi obyektif yang timpang di dalam masyarakat. Masyarakat menemukan inkonsistensi di dalam penegakan hukum secara massif dan terus menerus di dalam setiap langkah penegaknya, sehingga membuat para pencari keadailan frustrasi.

    Perspektif Ketatanegaraan

    Di dalam perspektif ketatanegaraan, khususnya di dalam menciptakan pemerintahan demokratis keadaan chaos harus dihindarkan. Namun itu memang tidak sederhana. Keadaan hukum, politik, ekonomi dan sosial budaya di Indonesia sejak krisis moneter melanda para pertengahan 1997 sampai sekarang, misalnya belum beranjak jauh dari kondisi keterpurukan.  Keterpurukan yang secara kasat mata dapat dicermati manakala tidak diatasi dengan itikad baik oleh penguasa bisa menimbulkan chaos.

    Terus merebaknya korupsi, kolusi, nepotisme, utang luar negeri yang semakin membengkak, terjadinya pergesekan sosial dengan beraneka sebab yang kadang hanya kecil saja bisa menjadi saham munculnya keadaan chaos.

    Pada substansinya, harga sosial yang harus dibayar akibat kondisi chaos sangat mahal. Untuk memulihkan kepada keadaan tertib (sipil) memerlukan eneregi sosial yang tidak sedikit dan bias berlangsung sangat lama. Tegasnya keadaan chaos itu mengerikan. Oleh karena itu menjadi kewajiban semua pihak ibarat sebuah perniagaan untuk secara bersama sama mencegah chaos.

    (Penulis adalah Doktor Kehutanan Unmul Samarinda, Pengamat Hukum dan Sosial Tinggal di Sampit)