RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Upaya Cegah Jumlah Korban

    JAKARTA – Peneliti Indonesian Legal Recource Center Siti Aminah Tardi berharap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual jadi UU. Sunggupun kini muncul penolakan dari sebagian kelompok wanita dengan alasan materi RUU ini dari barat atau mengadopsi feminisme.
    Padahal yang penting dan substansial adalah bagaimana kita melalui negara melakukan pencegahan agar tidak semakin banyak korban kekerasan seksual.

    Juga melakukan penegakan hukum bagi para pelakunya, dan memulihkan hak-hak korban. Dalam konteks keberagamaan kita, RUU ini adalah bagian dari keberpihakan kita kepada kelompok yang dilemahkan.

    Hal itu diungkapkannya dalam rangka mensuport agar RUU ini bisa lahir jadi UU yang kini sudah menjadi usul inisiatif DPR RI mulai dibahas di Parlemen, Senin (2/4).

    Menurutnya, RUU yang sedianya ditujukan untuk melindungi kepentingan warga negara khususnya perempuan ternyata mendapatkan tantangan justru dari sebagian kelompok perempuan lainnya.

    Komentar ini akan meluruskan kesalahpahaman dan stigma yang digencarkan oleh penolak RUU ini.
    Ide untuk mendorong lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Seksual lahir dari kenyataan semakin terus meningkatnya angka kekerasan seksual, khususnya yang menimpa perempuan dan anak-anak di Indonesia.

    “Sayangnya kenyataan tersebut belum disertai aturan hukum yang mampu memberikan keadilan dan jaminan pemulihan bagi khususnya korban kekerasan seksual,” ujarnya.

    RUU itu salah satu jalan bagi rakyat
    Indonesia untuk melaksanakan Pancasila, baik sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa maupun sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Semangat RUU tersebut memanusiakan manusia, yang juga menjadi inti dari nilai-nilai agama dan kepercayaan di Indonesia.

    Semua agama dan kepercayaan memiliki visi untuk menjadikan manusia sebagai
    makhluk Tuhan yang menghargai dan menghormati hak manusia lainnya.
    Misalkan, agama Islam menjunjung tinggi prinsip rahmatanlilalamiin yang
    didalamnya mengandung makna adil, setara, toleran, non diskriminasi, dan
    anti kekerasan, sambungnya.

    Secara universal, dapat dipastikan bahwa tidak ada agama dan kepercayaan manapun di dunia yang membenarkan terjadinya kekerasan terhadap siapa pun, apalagi terhadap kaum yang lemah dan
    dilemahkan (mustadh’afin).

    “Kekerasan seksual terjadi ketika daya tawar atau posisi korban lebih rendah dibandingkan pelaku dan adanya dominasi dari pelaku terhadap korban,,” tegasnya.

    Sebagai sesama manusia, kita tidak boleh melakukan kekerasan termasuk kekerasan seksual, karena jika hal itu terjadi nilai kemanusiaan kita
    sebagai manusia menjadi terkurangi. Untuk memulihkan kembali nilai-nilai
    kemanusiaan, maka harus dilakukan melalui tindakan-tindakan yang adil
    dan beradab, baik kepada korban, pelaku maupun masyarakat.

    Feminisme Disalahartikan

    Tema sebenarnya dalam RUU itu adalah .Feminisme Ide untuk Melawan Ketidakadilan
    Pengertian sederhana dari feminisme adalah ide/pemikiran untuk melawan ketidakadilan yang menimpa perempuan, orang yang memperjuangkannya disebut dengan feminis dengan demikian, sebenarnya feminisme itu ada dan tumbuh di setiap komunitas, wilayah, ras, agama, dan negara, walau mungkin menggunakan istilah yang berbeda.

    Feminisme itu tidak bermakna tunggal, ia beragam, tergantung kepada cara
    kita memandang sumber ketertindasan perempuan. Maka kita mengenal
    feminisme liberal, radikal, sosialis, marxis, eco-feminis, feminis Islam, anarko-feminis, dan afro american feminism sampai feminisme dunia
    ketiga.

    Terjadilah kontradiksi terhadap penolakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan alasan RUU ini mengadopsi feminisme, sementara kelompok penolak bisa menyampaikan pendapatnya, melakukan diskusi, menganalisis, bahkan berdemo, juga karena hasil-hasil kerja feminisme.

    Dengan demikian, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah upaya untuk melawan ketidakadilan yang menimpa perempuan. Sehingga, jika kita mengakui masih ada ketidakadilan terhadap perempuan, maka tidak ada alasan untuk menolak RUU ini.

    Dijelaskan, sejarah perkembangan Feminisme yang digunakan menghantam balik gerakan perempuan
    Padahal gerakan feminisme itu dinamis sesuai dengan dinamika sosial politik dimana sebuah aliran feminis memuncul. Kita sepertinya harus membaca ulang karya Naomi Wolf yang berjudul Gegar
    Jender. Naomi merujuk pada gerakan feminisme radikal pada tahun 70-an
    yang salah satunya mengkampanyekan “anti laki-laki” karena mereka
    menilai sumber ketertindasan perempuan adalah laki-laki.

    Namun, di sisi lain banyak perempuan menginginkan keluarga dan anak.
    Menurut analisisnya, kampanye itu digunakan oleh kapitalisme dan
    patriarki untuk menghantam balik gerakan perempuan, sehingga kemudian
    gerakan perempuan akan di-streotipe-kan sebagai gerakan anti keluarga, anti anak, lesbi dan pro aborsi dan hal ini membangun phobia yang disebut Feminist-Phobia (F-Phobia). Mitos yang dibangun oleh kapitalisme dan patriarki ini juga diimpor ke negara-negara dunia ketiga, sehingga kemudian bertambah sebagai ide yang berasal dari barat.

    Pada akhirnya kita bisa melihat dalam sistem ekonomi global, penghancuran sumber daya alam yang juga penghancuran perempuan sangat mudah dilakukan karena ketika perempuan melawan ketidakadilan, maka stigma “feminis” akan dilekatkan, dan ini membangun ketakutan keluarga dan masyarakat yang pada akhirnya membatasi perjuangan perempuan.

    Dalam konteks RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini, kita harus bertanya “Apa yang ditakutkan dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?” Jangan-jangan yang diketahui atau diinformasikan terhadap penolak RUU ini adalah mitos yang dibangun patriarki yang tidak mau privelege-nya atas perempuan diganggu, jelasnya.

    (jan/beritasampit.co.id)