Saham Asia Naik Karena BOJ Pertahankan Kebijakan Ultra-Longgar

Dokumentasi - Seorang pria berdiri di jembatan penyeberangan dengan papan elektronik yang menunjukkan indeks saham Shanghai dan Shenzhen, di distrik keuangan Lujiazui di Shanghai, Cina (6/1/2021). ANTARA/REUTERS/Aly Song/am.

HONG KONG – Saham Jepang memimpin kenaikan di bursa Asia pada Selasa 29 Maret 2022, karena bank sentral Jepang (BOJ) mempertahankan sikap kebijakan moneter ultra-longgar, sementara minyak turun di tengah kekhawatiran permintaan yang lebih rendah dari China ketika Shanghai ditutup untuk memerangi lonjakan COVID-19.

Indeks Nikkei Jepang naik 1,10 persen, sementara indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang menguat 0,67 persen, juga dibantu oleh pembicaraan langsung pertama antara para negosiator dalam konflik Rusia-Ukraina dalam lebih dari dua minggu, bahkan saat pertempuran berkecamuk.

Indeks berjangka menunjuk ke pembukaan yang lebih tinggi di pasar Eropa. EUROSTOXX 50 berjangka melonjak 1,1 persen, FTSE berjangka naik 0,6 persen dan S&P 500 berjangka AS naik 0,17 persen.

BOJ berjanji untuk menjaga kebijakan moneter ultra-longgar, menawarkan untuk membeli obligasi pemerintah 10-tahun dalam jumlah tak terbatas untuk mencegah imbal hasil di Jepang naik seperti yang mereka lakukan di tempat lain menyusul langkah Federal Reserve AS untuk menaikkan suku bunga dalam menghadapi tekanan inflasi yang meningkat.

Namun demikian, bank sentral merasa sulit, karena imbal hasil obligasi pemerintah Jepang (JGB) 10-tahun berdiri di 0,245 persen melayang di dekat batas implisit BOJ sebesar 0,25 persen.

Ini juga membebani yen, yang berada di 123,54 per dolar AS bahkan setelah melakukan pemulihan kecil dari penurunan sehari sebelumnya.

“Peningkatan volatilitas dan pergerakan mata uang yang tidak teratur dapat merusak stabilitas ekonomi dan keuangan,” kata diplomat mata uang utama Jepang Masato Kanda kepada wartawan pada Selasa, membenarkan tekad Jepang dan Amerika Serikat untuk berkomunikasi secara dekat mengenai masalah nilai tukar.

Di tempat lain perdagangan tetap bergejolak. Investor akan menyukai pasar yang tertinggal dari kenaikan suku bunga Fed, beroperasi pada “mentalitas perdagangan sehari-hari” di tengah hiruk-pikuk pasar dan perkembangan jangka pendek, kata Chi Lo, ahli strategi pasar senior APAC di BNP Paribas Asset Management.

“Bahkan tidak ada arah jangka menengah yang diikuti pasar,” katanya.

Sementara itu, harga minyak melemah karena para pedagang memperkirakan ekonomi China akan tertekan ketika negara itu berjuang melawan wabah baru COVID-19.

Minyak mentah AS kehilangan 0,7 persen menjadi 105,17 dolar AS per barel dan Brent berada di 111,65 dolar AS, juga turun 0,7 persen.

Pusat keuangan China Shanghai pada Selasa memperketat fase pertama dari penguncian COVID-19 dua tahap, setelah melaporkan rekor 4.381 kasus COVID-19 tanpa gejala dan 96 kasus bergejala pada 28 Maret – meskipun beban kasus tetap moderat menurut standar global.

“Tentu saja pasar komoditas tidak akan nyaman dalam jangka pendek dengan penutupan China,” kata Lo. Banyak pengamat memperkirakan pertumbuhan kurang dari 5,0 persen tahun ini untuk ekonomi terbesar kedua di dunia itu, katanya, pandangan yang dinilainya “terlalu pesimistis” mengingat ekspektasi untuk langkah-langkah stimulus yang lebih kuat.

Saham-saham unggulan China (CSI300) turun 0,43 persen, sedangkan indeks Hang Seng Hong Kong (HSI) naik 0,76 persen.

Imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun yang dijadikan acuan stabil di 2,4716 persen, sedikit berubah hari ini karena jeda dalam aksi jual tajam yang terlihat dalam beberapa hari terakhir.

Namun, imbal hasil obligasi dua tahun naik sejauh 8,2 basis poin ke puncak hampir tiga tahun di 2,421 persen, menyebabkan kesenjangan antara imbal hasil dua dan 10-tahun menyempit ke level terketat sejak awal 2020.

Sementara itu, harga emas di pasar spot melemah 0,1 persen menjadi 1.922,24 dolar AS per ounce. (Antara/beritasampit.co.id).