DIINTAI MAUT

Ilustrasi - Arya Sidarta

Karya: Aspur Azhar

Seorang laki-laki tigapuluhan tahun, sebut saja namanya Frans, berasal dari Nusa Tenggara Timur, suatu malam pulang dengan wajah lesu dan gelisah ke kamar kontrakan di sebuah gang di kota besar Jawa Timur. Frans baru saja kalah judi fok dengan sesama teman dari Nusa Tenggara. Malam itu tidak hanya lesu dan gelisah yang dirasakannya, melainkan juga rasa takut yang cukup mencekam.

Ia merasa ada seseorang yang sedang mengintai dirinya. Orang itu seakan amat membencinya dan segera akan menghabisinya. Bahkan pulang dari judi fok tadi serasa orang itu mengikutinya sambil mengendap-endap menunggu kelengahannya. Frans agak gugup dan tegang dibuatnya. Sesekali Frans mengintip dari celah tirai jendela kamar kontrakannya, barangkali ia dapat melihat orang itu di bawah cahaya lampu halaman rumah tetangganya. Namun tidak ada seorangpun yang tampak di sana. Hanya bayang-bayang pepohonan tampak kaku sunyi. Malam telah larut.

Tiba-tiba teleponnya berderit, Frans terperanjat. Ia berharap ada teman yang menghubunginya, namun nomor telepon yang masuk tidak dikenalnya. Dengan agak ragu Frans mengangkatnya. “Haloohaloo!”

Terdengar suara dari seberang seperti suara gumam berat dan bergetar. “Haloo Ini siapa?” tanya Frans. Terdengar sahutan lambat dan serak berbunyi: “Kamu akan mati! mati! mati!” Frans terkejut dan cepat menutup teleponnya. Ia gugup dan tambah takut. Malam itu Frans tidak dapat tidur sekejap pun.

Pag-pagi Frans sudah meninggalkan kamar kontrakannya. Ia langsung menuju markas Kodim di kota itu. Usai melapor Frans langsung menjelaskan masalahnya.

“Saya mau dibunuh, Pak. Tolong lindungi saya. Saya mau dibunuh. Saya takut!” ungkap Frans bersungguh-sugguh.

“Siapa yang mau bunuh Bapak?” Tanya aparat Kodim tenang.

“Saya tidak tahu. Dia mengancam mau bunuh saya!”

“Bapak semestinya lapor polisi, bukan lapor ke sini. Ini bukan wewenang kami. Ini wewenang polisi.”

“Saya tidak mau ke polisi. Saya tidak suka polisi!” sahut Frans.

“Tapi ini wewenang polisi, Pak. Polisi bisa cari tahu siapa orang yang mau membunuh Bapak. Kami tidak ada mau ada kesalahan. Kalau Bapak tidak mau ke polisi, biar kami telepon polisi agar menjemput Bapak di sini, bagaiamana?” tanya aparat itu agak tegas.

Frans terdiam. Dengan sikap kurang suka kemudian ia berdiri dan keluar dari markas Kodim tersebut tanpa berkata-kata lagi. Parat Kodim berharap Frans benar-benar menuju kantor polisi. Tetapi hanya beberapa puluh meter dari markas Kodim tersebut Frans berhenti tepat di depan sebuah Sekolah Dasar. Tiba-tiba Frans menghunus pisau dapur dari balik pakaiannya dan dengan tiba-tiba pula ia menyandera seorang murid perempuan yang sedang bermain dengan teman-temannya di sekolah itu. Frans merenggut rambut anak perempuan itu dan sekaligus meletakkan mata pisau dapur tepat di permukaan urat lehernya. Murid-murid yang ada sekitarnya terkejut dan segera berlarian sambil berteriak-teriak. Orang-orang dan para guru panik. Frans melotot kesana-kemari dengan ekspresi liar. Ia menyeret anak yang disanderanya kembali ke markas Kodim.

Aparat Kodim yang sudah merasa terbebas dari urusan Frans kaget dan jengkel. Komandan piket saat itu berhasil menenangkan anggotanya yang terpancing oleh situasi. Beberapa saat setelah keadaan agak tenang Si Komandan berusaha mendekati Frans dan sanderanya sambil mengangkat kedua tangan.

“Tenang, Pak Frans. Anak itu tidak bersalah, tolong lepaskan dia. Kita bisa bicarakan masalah Pak Frans dengan tenang!”

“Saya mau pulang!” ucap Frans dengan lantang sehingga membuat anak perempuan dalam cengkeramannya kaget dan meronta. “Saya mau pulang ke Flores lewat kapal laut!”

“Baik, baik, kami akan siapkan tiket kapal laut buat Pak Frans, tapi tolong lepaskan anak itu!”

“Saya tidak mau lepas sebelum saya berangkat!” teriaknya lagi.

“Oke, oke, tapi tolong Pak Frans tenang, kami akan siapkan tiketnya.”

Kepala piket segera menyuruh seorang anggotanya untuk membelikan tiket kapal laut atas nama Frans dengan tujuan Flores, Nusa Tenggara Timur. Sementara menunggu, tanpa disadari oleh Frans bahwa aparat kepolisian berpakain preman telah mengepung lokasi kejadian. Frans menyandera anak perempuan itu di bawah sebatang pohon yang cukup besar di halaman markas Kodim tersebut. Posisinya agak terlindung dari jalan raya.

Hampir dua jam kemudian tiket kapal laut atas nama Frans sudah siap. Aparat Kodim dengan tenang memperlihatkan tiket tersebut kepada Frans. “Ini tiketnya, Pak Frans. Dua jam lagi kapal akan bertolak ke Flores. Tolong lepaskan anak itu, Pak Frans.”

“Tidak bisa! Bawa sini tiketnya!” ucap Frans dengan galak.

Aparat Kodim bergerak maju dengan lembaran tiket kapal laut di tangan kanannya. Ia mencar-cari peluang, barangkali bisa membekuk Frans sekaligus membebaskan sanderanya. Namun aparat itu tidak berani ambil resiko karena dilihatnya mata pisau dapur di tangan Frans tepat menekan urat leher anak Sekolah Dasar itu. Setelah menyerahkan tiket, dia segera mundur.

“Sekarang antarkan saya ke pelabuhan!” pinta Frans.

“Baik, sebentar, kami akan siapkan mobil untuk Pak Frans ke pelabuhan.” Dan eberapa saat kemudian mobil patroli bak terbuka telah disiapkan di tepi jalan raya.

“Sekarang mobilnya sudah siap, pak Frans duduk di depan, dekat supir, sementara di bagian bak aparat kami siap menjaga Pak Frans. Silahkan Pak Frans.”

Frans melihat mobil itu, lalu beringsut menyeret sanderanya ke arah mobil yang dimaksud. Beberapa saat berikutnya ia pun tiba di sisi pintu depan mobil patroli tersebut. Seorang aparat segera membukakan pintu itu dari dalam. Sekarang Frans sudah siap masuk. Tapi ia merasa kesulitan dengan sanderanya, maka diputuskannya untuk melepaskan sanderanya di sisi mobil patroli. Perlahan-lahan Frans mengendurkan cengkeramannya untuk kemudian melepaskan sanderanya dengan satu dorongan cukup kuat sehingga hampir membuat anak perempuan itu terjerembab.

Dan bersamaan dengan itu terdengar bunyi letusan senjata api dari tempat yang tak begitu jauh, tiba-tiba tubuh Frans limbung dan kemudian ambruk. Darah mulai membasahai pakaiannya, lalu mengalir di permukaan aspal. Sebutir timah panas telah menenbus jantung Frans dari arah belakang hingga tembus ke dada. Frans menghembuskan napas terakhirnya di tempat kejadian.

Polisi berpakaian preman segera berdatangan dengan pistol masing-masing di tangan. Kemudian terdengar sirene ambulans. bertalu-talu. Petugas-petugas berpakaian puti-puith tampak begitu cekatan memasukkan jenazah  Frans ke dalam ambulans. Orang-orang terkesima, tapi kemudian semuanya segera berlalu.

Bagi aparat Kodim yang bertugas pagi itu merasa mendapat pengalaman langka yang tentunya akan sering mereka ceritakan. Terlebih lagi bagi Komandan Piket, ia merasa mendapat pengalaman tragis dan menegangkan. Seumur hidupnya baru kali ini mengalami kejadian dramtis seperti dalam film-film aksi yang mendebarkan. Sebagai anggota militer ia merasa jengkel diperintah dan dibentak-bentak orang seperti Frans, tetapi karena demi keselamatan nyawa orang lain ia terpaksa menelan segenap kejengkelannya. Dibalik itu semua ia juga merasa aneh bahwa ancaman pembunuhan itu benar adanya, namun tak ada yang bisa menduga bahwa ternyata si pembunuh itu adalah aparat kepolisian. Kehidupan memang sering tak terduga, dan begitu pun maut tak bisa diketahui kapan dan dari mana ia datang.***

(Dari buku kumpulan cerpen, Menjadi Biji, karya Aspur Azhar)