Keretakan Geopolitik Harus Bisa Menjadi Pintu Masuk Menuju Superpower Baru

Ketum Gelora Anis Matta

JAKARTA – Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menegaskan, Indonesia bisa menjadi kekuatan superpower baru dunia dengan adanya empat perspektif, yakni peluang, kemauan, jarak dan waktu.

“Sekarang pertanyaannya adalah kita mau atau tidak. Kalau bicara peluang menjadi superpower itu ada, sebab dunia sedang sangat kacau dan di tengah kekacauan ini akan lahir kekuatan-kekuatan baru, yang lama akan mati atau runtuh,” kata Anis Rabu 9 Agustus 2023.

Menurut Anis Matta, Indonesia bisa sejajar dengan Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia dan China untuk menjadi kekuatan superpower.

“Jadi kehadiran kita itu tidak mengeliminir yang lain, tapi kita nyelip di situ menjadi yang kelima. Selama ini saya juga suka menggunakan istilah kekuatan kelima dunia. Saya ingin Indonesia duduk bersama empat kekuatan utama itu,” katanya.

Anis Matta mengatakan, untuk melihat peluang Indonesia menjadi superpower baru bisa dilihat dari dua fakta sejarah. Pertama adalah sejarah yang berhubungan dengan Islam dan Barat, terutama perang salib.

“Persinggungan antara Islam dengan Barat adalah perang salib ini yang berlangsung dalam 8 gelombang selama 200 tahun dari abad ke 11-13,” ungkapnya.

Dalam persinggungan antara Islam dengan Barat ini, lanjut Anis Matta, Barat atau Eropa mengalami kekalahan dalam Perang Salib. Namun, hal itu justru menjadi titik awal kebangkitan Eropa.

“Perang salib telah menciptakan guncangan besar di Eropa, tetapi juga menjadi awal abad kebangkitan sains, kebangkitan ilmu pengetahuan. Disinilah kemudian lahirnya renaissance, revolusi industri dan revolusi maritim,” jelasnya.

Persinggungan antara Islam dan Barat selama 200 tahun, meski dimenangkan Islam dengan penaklukkan Konstantinopel oleh Kesultanan Turki Ottoman, dan mengakhiri Imperium Romawi Timur, tapi Islam justru mengalami kemunduran (decline)

“Tapi 40 tahun setelah itu, Andalusia jatuh. Bersamaan dengan itu, Columbus menemukan benua Amerika, dan Vasco de Gama menemukan anak benua India. Begitu ada revolusi maritim, maka justru dia menemukan dunia yang utuh,” katanya.

Sehingga kekuasaan Kesultanan Ottoman yang sebagian besar wilayah daratan dan Laut Mediterania, menjadi tidak relevan, ditambah lagi teknologi yang digunakan juga sudah lama dan tertinggal dari Eropa.

BACA JUGA:   Harus Ada Perencanaan Matang Generasi Muda Menghadapi Era Bonus Demografi

Selain itu, Eropa juga telah menemukan sumber kekayaan baru yang lebih besar. “Eropa butuh setengah abad lebih untuk menemukan dunia yang utuh. Revolusi maritim ini telah mengubah lanskap dunia. Akibat revolusi maritim ini, Indonesia juga dijajah Portugis pada tahun 1511,” katanya.

Sedangkan kedua, jika dilihat dari sejarah modern, Kesultanan Ottoman juga kalah dalam perang dunia (PD) I, sehingga terus mengalami kemunduran. Selain itu, meski Inggris dan Perancis menjadi pemenang, dan menjadi imperium yang menguasai dunia pada abad 18-19 juga terus sama mengalami kemunduran.

“Kemunduran Inggris semakin menyedihkan, sampai tidak punya pemimpin dari dalam negeri sendirinya seperti sekarang. Pemimpinnya orang India (Rishi Sunak, red) sekarang,” katanya.

Sementara pada PD II melahirkan imperium baru, yakni Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet yang merupakan kelanjutan dari peradaban Barat. Namun, kemudian Soviet runtuh, tinggallah AS sendirian sebagai imperium.

Tetapi, hal itu tidak bertahan lama, berjalan sekitar 30 tahun, kemudian muncul kekuatan baru Rusia dan China. Namun, ia tidak tahu siapa yang akan muncul sebagai pemenang dalam pertarungan ini.

“Tapi dengan dua fakta sejarah ini, saya mau menjelaskan bahwa dimana letak peluang Indonesia untuk menjadi superpower baru. Jika kita menggunakan sejarah, akan berulang lagi. Akan ada benturan-benturan yang panjang, dan kekacauan yang panjang lagi yang melelahkan,” katanya.

Akibat benturan yang panjang ini, kata Ketua Umum Partai Gelora, kekuatan utama dunia yang akan keluar sebagai pemenang, adalah pemenang yang telah banyak kehilangan energi dan sumber daya.

“Apakah kita akan kembali ke sistem bipolar lagi, saya tidak percaya. Tapi apakah kita akan kembali ke sistem multipolar, itu yang diinginkan oleh para pihak atau , pendatang baru. Yang pasti akan terjadi konflik geopolitik dalam waktu yang lama, yang akan sangat melelahkan,” katanya.

BACA JUGA:   Mukhtarudin: Green Energy dan Green Industry Jadi Bagian Kehidupan

Hal ini akan menjadi sebab adanya kebangkitan satu bangsa dan keruntuhan satu bangsa, karena adanya kelelahan dalam konflik tersebut.

“Di tengah keretakan inilah, ada peluang Indonesia menjadi superpower baru. Sebab, begitu berperang dia (kekuatan utama global) perlu kawan untuk membentuk aliansi-aliansi baru di kemudian hari,” ujarnya.

“Jadi begitu ada crash, disitu ada peluang. Dan saya percaya bahwa Indonesia punya peluang itu, karena ada keretakan geopolitik sekarang ini. Dari teori siklus, peluangnya menjadi superpower itu ada, tapi kita punya kemauan atau tidak, ini yang harus kita jawab bersama,” paparnya.

Jika berbicara soal kemauan, Anis Matta berharap adanya perubahan mindset dari bangsa ini. Sebab, bangsa Indonesia punya masalah dengan keinginannya, tidak berani bermimpi besar dan jarang melakukan prestasi hebat.

“Manusia Indonesia lebih suka yang gimick-gimick, apalagi dalam politik, tidak suka kampanye-kampanye yang besar. Ngapain jualan superpower baru dalam politik, itu hanya orang gila, kita yang kongkrit saja,” katanya.

Karena itu, dalam hal pencapaian (achievement), Indonesia kalah dari China, karena memiliki semangat yang rendah dan kemampuannya tidak maksimal, padahal peluangnya ada sebagai superpower baru dunia.

“Ini yang saya bilang, langit kita terlalu tinggi, tapi kita terbang terlalu rendah. Ada gap antara potensi dan pencapaian, karena achievement kita rendah. Ini yang harus kita lawan, inilah tantangan kita sebagai bangsa,” katanya.

Anis Matta berharap ada upaya untuk membangkitkan semangat dan kemauan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita besar. Sebab, peluangnya ada, tinggal didukung kemauan maksimal untuk mewujudkannya.

“Kenapa Partai Gelora ini, kita namakan gelombang, karena kita tidak ingin menjadi ombak di dalam secangkir kopi, sebab hanya bikin gaduh saja, tapi jadilah gelombang. Saya mungkin dianggap sebagai pemimpi, dianggap itu tidak efektif sebagai bahan kampanya. Tetapi tujuan kita mendirikan partai ini, adalah untuk melakukan hal-hal besar,” pungkasnya.

(adista)