Ketakutan di Ruang Redaksi Membungkam Suara-suara Pro Palestina

Rami G Khouri.

Oleh: Rami G Khouri

Konflik Palestina-Israel yang kini memasuki abad kedua terjadi di dua medan perang paralel. Yang pertama adalah kekerasan di lapangan yang mencapai puncaknya dalam beberapa minggu terakhir.

Yang kedua adalah pertarungan yang kurang terlihat, namun sama sengitnya di media dan dunia informasi publik Amerika Utara dan Eropa.

Di mana Israel dan negara-negara penggantinya telah meningkatkan upaya untuk membungkam jurnalis yang mengekspresikan pandangan-pandangan pro-Palestina atau yang seimbang dan memiliki konteks sejarah.

Selama bertahun-tahun, kelompok sayap kanan pro-Israel seperti Committee for Accuracy in Middle East Reporting in America (CAMERA) dan Canary Mission telah berusaha membungkam akademisi, aktivis, dan jurnalis yang menawarkan perspektif Palestina, sehingga pandangan Israel bisa menang.

Bahkan ada beberapa individu yang takut kehilangan pekerjaan, tidak dipekerjakan atau dipromosikan dan menyerah.

Sebuah taktik baru yang jahat mencoba membungkam jurnalis, bukan karena pemberitaan mereka, namun karena opini media sosial yang mereka posting.

Sejak dimulainya perang Israel terbaru di Gaza, sejumlah profesional media telah dipecat atau diskors karena kondisi tersebut.

Jackson Frank, seorang reporter olahraga di Philadelphia, dipecat oleh PhillyVoice.com karena tweetnya mendukung perjuangan Palestina.

Zahraa Al-Akhrass dipecat oleh perusahaannya, Canada’s Global News, karena postingannya di media sosial menarik perhatian pada penderitaan warga Palestina.

Kasem Raad dipecat dari pekerjaannya di Welt TV, anak perusahaan media Jerman Axel Springer, karena mempertanyakan kebijakan internal pro-Israel.

Issam Adwan, seorang reporter Associated Press Gaza diskors karena postingan media sosial baru-baru ini dan juga di masa lalu yang mengkritik Israel sebagai rezim apartheid.

Dan setidaknya enam jurnalis Arab menghadapi penyelidikan internal di BBC atas aktivitas media sosial mereka yang diduga menunjukkan “bias anti-Israel” mereka.

BACA JUGA:   Mercy Barends Desak Kementerian ESDM Blacklist Pihak Ketiga Proyek PJUTS

Meskipun terdapat pemecatan dan skorsing terhadap jurnalis, terdapat juga jurnalis yang menerima dukungan dari pemberi kerja di bidang media.

Redaktur Pelaksana Los Angeles Times, Sara Yasin, misalnya, dituduh pro-Hamas dalam beberapa retweetnya yang mengkritik tindakan Israel, namun manajemennya dengan tegas menolak klaim tersebut dan menganggapnya salah.

Jurnalis opini nominasi Pulitzer Prize, Abdallah Fayyad, yang baru saja menyelesaikan tiga tahun jabatannya di dewan editorial Boston Globe, menjelaskan bahwa terdapat budaya ketakutan di banyak ruang redaksi.

Dia mengatakan bahwa sebagian besar editor bukanlah pakar kebijakan luar negeri atau Timur Tengah, sehingga liputan mereka cenderung mengikuti Departemen Luar Negeri AS dan Gedung Putih yang pro-Israel dalam isu tersebut.

Abdallah Fayyad mengatakan kebanyakan jurnalis tidak menginterogasi isu perang.

“Jadi, ketika mereka dibanjiri surat, kritik di media sosial, atau ancaman untuk menghentikan langganan karena liputan mereka yang lebih berimbang. Mereka cenderung mengambil jalan yang lebih mudah dan melanjutkan kecenderungan media arus utama yang pro-Israel,” kata Fayyad.

Budaya ketakutan ini juga terlihat pada siapa saja yang memilih media Tv untuk mengomentari peristiwa di Israel-Palestina.

Diantaranya adalah Noura Erakat dari Rutgers University, Yousef Munayyer dari Arab Center-Washington, analis politik Omar Baddar. Mereka dikeluarkan dari penampilan TV, padahal komentar mereka yang sudah direkam (Tapping) itu pun tidak ditayangkan, karena menentang liputan jaringan TV arus utama AS yang berpihak pada Israel.

Semua ini terjadi di tengah laporan bahwa beberapa perusahaan media Barat menginstruksikan stafnya untuk tidak memberikan konteks mengenai perang Israel di Gaza atau bahkan meremehkan korban di pihak Palestina.

BACA JUGA:   Penting Dibangun Komitmen Kebangsaan Untuk Mewujudkan Indonesia Emas 2045

Namun ada juga penolakan terhadap kampanye tekanan dan intimidasi yang menargetkan suara-suara pro-Palestina.

Orang Amerika keturunan Arab dan negara-negara sekutu progresif telah melakukan mobilisasi untuk melindungi hak konstitusional warga negara, mendokumentasikan insiden tekanan dan pelecehan, serta menarik perhatian terhadap hal tersebut.

Palestine Legal, sebuah organisasi hak-hak sipil yang berbasis di AS yang memantau insiden anti-Palestina, mencatat dalam laporan terbarunya bahwa orang-orang yang secara terbuka menunjukkan solidaritas dengan warga Palestina di Gaza menghadapi intimidasi yang lebih besar.

Dokumen tersebut mendokumentasikan bahwa meningkatnya pelecehan terhadap para pendukung Palestina telah mendorong lebih dari 260 upaya pelecehan.

Laporan tersebut menyimpulkan bahwa para pendukung pro-Palestina menghadapi gelombang reaksi yang terus mempengaruhi kehidupan pribadi dan profesional.

Asosiasi Jurnalis Arab dan Timur Tengah yang muda tapi dinamis mengaku sangat terganggu dengan laporan bahwa jurnalis keturunan Timur Tengah dan Afrika Utara menghadapi bias di tempat kerja dan tidak bisa melaporkan atau mengomentari perang saat ini.

Sementara saran untuk nuansa keseimbangan, dan penggunaan bahasa yang akurat dan tepat dalam pemberitaan diabaikan di redaksi.

Menargetkan atau mengisolasi jurnalis untuk liputan jujur ​​itu bertentangan kebebasan pers.

Apalagi, mengebom atau menembak jurnalis yang melaporkan dari lapangan adalah kejahatan perang yang terkutuk.

Medan perang media ini layak untuk diwaspadai, karena, untuk pertama kalinya dalam satu abad, taktik Zionis untuk mempertahankan garis pro-Israel di AS dan negara-negara Barat akan lebih efektif dicegah dan dilawan oleh para pendukung pemberitaan yang berimbang.

Rami G Khouri adalah Seorang Jurnalis dan Penulis Buku Dengan Pengalaman 50 Tahun Meliput di Timur Tengah