Larangan Ekspor CPO Pengaruhi Kinerja Perdagangan Internasional

Ilustrasi: Pekerja mengumpulkan buah sawit di sebuah RAM Kelurahan Purnama Dumai, Riau. ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/rwa.

JAKARTA – Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan minyak goreng akan mempengaruhi kinerja perdagangan internasional Indonesia.

Kebijakan tersebut mendistorsi pasar global, menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga serta berdampak pada hubungan Indonesia dengan mitra dagangnya.

“Kebijakan ini berpotensi menyebabkan kelangkaan pasokan CPO di pasar internasional dan menyebabkan kenaikan harga. Kondisi seperti ini akan menambah berbagai faktor yang menghambat upaya pemulihan ekonomi global, setelah invasi Rusia ke Ukraina dan krisis pangan yang menimpa banyak komoditas terutama minyak sayur,” kata Felippa lewat keterangannya di Jakarta, Selasa 26 April 2022.

Kebijakan ini, lanjutnya berpotensi memicu retaliasi atau pembalasan dari mitra dagang dan mempengaruhi kestabilan harga komoditas kelapa sawit di pasar internasional.

Felippa melanjutkan sangat penting bagi pemerintah untuk memastikan komitmennya pada kontrak-kontrak yang sedang berjalan. Jika banyak komitmen ekspor  tidak terpenuhi, maka Indonesia bisa terlihat seperti mitra dagang yang tidak bisa diandalkan.

BACA JUGA:   Prabowo-Gibran Resmi Menang Pilpres 2024

Menurut dia, Indonesia seharusnya bisa membuktikan komitmennya untuk menjaga terus berjalannya kerja sama tersebut.

Kebijakan ini juga disebut Felippa tidak peka terhadap petani karena banyak petani yang menggantungkan hidup mereka kepada harga CPO.

Produksi CPO atau minyak kelapa sawit mengalami penurunan sejak tahun 2019. Pada tahun 2021 produksi CPO turun lebih lanjut sebesar 0,9 persen menjadi 46,89 juta ton. Produksi minyak sawit Indonesia untuk semester pertama tahun 2022 kemungkinan belum mengalami peningkatan karena kesulitan pupuk dan perubahan cuaca.

Gangguan rantai pasok di masa pandemi, kenaikan ongkos transportasi, peningkatan jumlah permintaan dan bertambahnya biaya input pertanian berkontribusi pada naiknya harga.

Belum lagi harga pupuk berbasis nitrogen dan fosfat yang sering digunakan petani kelapa sawit naik 50- 80 persen pada pertengahan 2021. Pupuk menyumbang 30-35 persen dari total biaya produksi, sehingga kenaikan harga juga akan meningkatkan biaya produksi.

BACA JUGA:   Kritisi SKK Migas, Mukhtarudin: Target Produksi Minyak 1 Juta Barel pada 2030 Hanya Mimpi

Felippa menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan ini sekali lagi untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang ada. Alih-alih melarang ekspor, pemerintah sebaiknya tetap menjaga komitmennya dalam perdagangan internasional untuk memastikan posisi Indonesia dalam pemulihan ekonomi global.

Selain itu pemerintah perlu menyelesaikan permasalahan produktivitas kelapa sawit yang terus menurun, terlebih karena moratorium perkebunan sawit masih dijalankan. Petani perlu memaksimalkan lahan yang ada dengan meningkatkan produktivitasnya.

Penggunaan metode pertanian yang ramah lingkungan dan mampu mengadaptasi perubahan iklim diharapkan bisa meningkatkan produktivitas.

Selain itu pemerintah juga perlu memastikan petani kelapa sawit, terutama petani mandiri, dapat mengakses input pertanian berkualitas dengan mudah dan tepat sasaran. (Antara/beritasampit.co.id).