Mukhtarudin: Keputusan Sri Mulyani Hapus Pungutan Ekspor CPO Tak Bisa Dongkrak Harga TBS

Anggota Komisi VII DPR RI Mukhtarudin

JAKARTA– Menteri Keuangan Sri Mulyani telah memutuskan untuk menghapus tarif pungutan ekspor kelapa sawit dan turunannya hingga 31 Agustus 2022.

Penghapusan pungutan ekspor kelapa sawit ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115 tahun 2022.

PMK tersebut adalah perubahan atas PMK Nomor 103/PMK.05/2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Menanggapi kebijakan tersebut, Anggota Komisi VII DPR RI Mukhtarudin menilai penghapusan sementara pungutan ekspor crude palm oil (CPO) ini belum membuat petani sawit bahagia.

“Kenapa?, karena hanya satu bulan, durasi waktu terlalu pendek, tidak akan signifikan untuk menyelesaikan persoalan overload stock CPO,” tandas Mukhtarudin, Rabu, (19/7/2022).

Selain itu, menurut Mukhtarudin kebijakan tersebut juga tak serta merta bisa menaikkan harga TBS yang anjlok akibat kebijakan larangan ekspor yang sebelumnya diberlakukan beberapa waktu lalu.

Mukhtarudin mengaku akibat larangan ekspor tersebut, hingga kini stok CPO masih melimpah di tangki-tangki pabrik kelapa sawit (PKS) dan harga CPO juga mengalami penurunan di mana per hari ini harga CPO diperdagangkan di posisi MYR 3.735 per ton.

BACA JUGA:   Prabowo-Gibran Resmi Menang Pilpres 2024

Menurutnya, pungutan ekspor yang dihapus sekitar US$ 200/ton CPO setara dengan Rp.3 juta/ton CPO atau Rp. 3000/kg CPO. “Itu setara dengan Rp 600/kg TBS, jika rendemen lazim 20%. Logikanya harga TBS naik Rp 600/kg, misal dari Rp 1.000/kg naik jadi Rp 1.600/kg TBS. Sekalipun masih di bawah Harga Pokok Produksi (HPP) Rp 1.800/kg TBS,” ujarnya.

Namun, Mukhtarudin melihat fakta yang terjadi di lapangan hanya naik Rp 50/kg, bahkan banyak pabrik kelapa sawit (PKS) tutup. Kondisi ini menandakan proses pengosongan tangki yang penuh 7,2 juta ton (menurut data Gapki) tidak berjalan normal.

“Ekspornya terhambat akibat masih berlakunya Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang jadi sebab sulit mencari kapal untuk ekspor, oleh karena itu untuk sementara DMO dan DPO dicabut dulu karena stock CPO kita melimpah, jika stock sudah kembali normal untuk kebutuhan nasional, berlakukan lagi DMO dan DPO, kebijakan Rem dan Gas,” kata Mukhtarudin.

Untuk itu, Anggota Banggar DPR RI ini berharap agar kebijakan Menteri Keuangan terkait penyesuaian tarif pungutan ekspor CPO dan turunannya memberi efek keadilan dan kepatuhan terhadap distribusi nilai tambah yang akan dihasilkan dari rantai industri kelapa sawit dalam negeri.

BACA JUGA:   Teras Narang: Perubahan atas Undang-undang Paten merupakan Keniscayaan

“Nah. Saya kira penghapusan pungutan ekspor CPO harus diperpanjang selama tiga bulan, sehingga bisa berdampak langsung pada kesejahteraan petani sawit itu sendiri,” beber Mukhtarudin.

Diketahui, harga TBS masih sulit naik karena tarif bea keluar pajak ekspor CPO masih sangat tinggi yaitu mencapai USD 288 per ton dan flush out sebesar USD 200 per ton masih tetap diberlakukan

“Ini artinya pungutan-pungutan eksport akan tetap membebani harga TBS petani kita,” imbuh Mukhtarudin.

Mesti begitu, politisi Golkar Dapil Kalimantan Tengah ini berharap pungutan dari ekspor agar dikelola dan disalurkan kembali untuk pembangunan kelapa sawit rakyat.

Mengingat, beber Mukhtarudin, sektor perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu komoditas strategis dan tulang punggung perekonomian nasional.

“Saya berharap kebijakan terkait kelapa sawit, tujuannya yakni untuk terciptanya kesinambungan, menambah devisa dan mensejahterakan petani sawit, mengingat peran petani sawit sangat penting dalam perekonomian kita,” pungkas Mukhtarudin.

(dis/beritasampit.co.id)