Terbukti Sumbang Devisa Terbesar Nasional, Investor Sawit Butuh Jaminan Keamanan dalam Investasi

Ketua Gapki Cabang Kalimantan Tengah, Dwi Dharmawan.

PALANGKA RAYA – Investasi yang aman dan nyaman saat ini yang tengah dibutuhkan kalangan investor kelapa sawit sehingga kegiatan usaha tersebut dapat dijalankan secara berkelanjutan.

Di sisi lain dukungan dari pemerintah dinilai wajar mengingat saat ini, industri sawit telah menyumbang devisa terbesar nasional, bahkan mengalahkan devisa dari sektor migas. Hal itu disampaikan Ketua Gapki Cabang Kalimantan Tengah, Dwi Dharmawan, dalam keterangan tertulisnya, Kamis 19 Oktober 2022.

Dwi Dharmawan mengatakan, pada 2021 misalnya, luas total perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16.381.959 Ha (data SK Mentan N0 833 tahun 2019), dari luas tersebut sekitar 42% atau 7.62 juta hektare dan Kalimantan Tengah termasuk daerah yang memiliki kebun sawit terluas di nasional.

Hasilnya, dari luasan lahan tadi, nilai ekspor sawit bahkan tembus Rp451,8 triliun (belum termasuk pajak ekspor dan levy). Menariknya, industri sawit kini mengambil peran menggantikan penggunaan bahan bakar fosil sebanyak 8.4 juta kilo liter melalui program mandatori B30.

“Itu belum lagi ditambah dari dampak ekonomi dari masyarakat melalui industri sawit,” kata Dwi Dharmawan.

Di sektor tenaga kerja saja, bisa dilihat, dari industri sawit, ternyata menyerap tenaga kerja langsung sekitar 4.2 juta orang dan lapangan kerja tidak langsung yang tersedia dari industri sawit sebanyak 12 juta orang.

Berangkat dari dampak ekonomi yang begitu besar dari potensi industri sawit di Indonesia, ada peran besar pemerintah bagaimana mewujudkan pembangunan sawit di Indonesia menjadi bagian dari strategi pembangunan sektor pertanian dan pembangunan pedesaan.

BACA JUGA:   Beasiswa TABE Tidak Ada Kejelasan, Netizen Ramai-ramai Serbu Akun Instagram Disdikkalteng

“Dan sudah barang tentu, menjunjung tinggi prinsip keberlanjutan. Mulai dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan,” tutu Dwi Dharmawan.

Nah, untuk mewujudkan hal itu, tentu saja, pelaku usaha berharap pemerintah memberikan kepastian keamanan dan kenyamanan dalam berinvestasi. Terutama yang berkaitan dengan regulasi.

Tujuannya adalah, strategi dari pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di sekitar kebun dapat terwujud melalui peraturan ditetapkan oleh pemerintah.

Ia juga mengatakan saat ini mereka sebagai pelaku usaha perlu dorongan dan dukungan dari berbagai pihak untuk sama-sama memahami proses dan teknis terkait pelaksanaan dari program fasilitasi pembangunan kebun masyarakat.

Satu di antara regulasi yang menjamin keberlangsungan dalam berinvestasi dari sawit dan itu perlu disosialisasikan dan diketahui masyarakat luas, yakni regulasi bidang pertanian, termasuk di dalamnya ada perkebunan, tepatnya pada regulasi Undang-Undang Cipta Kerja.

Adapun dalam regulasi dari UU Cipta Kerja yang dimaksud, di antaranya :

Pertama, regulasi pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021, yakni Pasal 21 angka (3). Dalam PP ini disebutkan “Kegiatan usaha produktif perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan pembiayaan minimal setara dengan nilai optimum produksi kebun di lahan seluas 20% (dua puluh persen) dari total areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan, ini adalah pertama kali menetapkan kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat dikeluarkan yang bersifat mandatory dan tentunya berlaku ke depan.

BACA JUGA:   Sepasang Kekasih Dijatuhi Hukuman atas Kecurangan Pemilu 2024

Dalam melaksanakan ketentuan pemerintah untuk fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dapat juga dilakukan dalam berbagai bentuk sebagaimana diatur dalam ketentuan diatas, tidak harus semuanya dengan pembangunan kebun plasma bilamana lahannya sudah tidak tersedia.

Kedua, dalam rangka pelaksanaan atau teknis dari fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar (FPKMS) sebesar 20% telah dikeluarkan dan diatur dalam Permentan RI nomor 18 tahun 2021 tentang Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar.

Isi dari regulasi tersebut, bagi kebun yang dibangun setelah tahun 2007, namun belum punya plasma dan sulit mendapatkan lahan, telah diberikan solusi oleh pemerintah , melalui kegiatan kemitraan dalam bentuk lain seperti kegiatan penyediaan hewan ternak/bibit ternak atau budidaya perikanan.

Padahal, kata Dwi, sebelum tahun 2007, perusahaan tidak ada kewajiban dari kegiatan kemitraan yang dimaksud. Karena sebelum 2007, perusahaan sudah medapatkan tugas, yakni melaksanakan program Perkebunan Inti rakyat (PIR) seperti PIR Bun, PIR Trans, PIR KKPA, dan Revitalisasi Perkebunan.

“Jadi sekarang banyak perusahaan sawit telah membangun plasma melalui program tadi.

Pada akhirnya, hadirnya regulasi dari pemerintah tentu berdampak baik pagi pelaku usaha dan masyarakat.

Harapannya kata Dwi, proses investasi dan keberlanjutan dari pelaku usaha dapat terus berjalan dengan baik.

“Kami butuh dukungan dari pemerintah dan masyarakat sekitar untuk mewujudkan pemerataan pertumbuhan di daerah,” pungkasnya.(naco)