FPKM Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Kebun

ANTARA/BERITA SAMPIT - Foto udara kendaraan melintas di areal perkebunan sawit milik salah satu perusahaan di Pangkalan Banteng, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Senin (7/11/2022).

JAKARTA – Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan kebijakan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) dimaksudkan untuk memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kebun yang saling bersinergi dengan perusahaan perkebunan.

Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan Heru Tri Widarto di Jakarta, Rabu 23 November 2022, mengatakan FPKM seluas 20 persen dari kebun yang diusahakan itu merupakan kewajiban perusahaan perkebunan sebagaimana perintah Undang-Undang No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.

FPKM sebesar 20 persen, lanjutnya, didasari pada regulasi yang mengalami beberapa kali perubahan yang terakhir, sesuai Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 29 angka 19 dalam Pasal 58 ayat (1).

“Pada intinya, dengan dilakukannya FPKM akan berakibat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kebun yang saling bersinergi dengan perusahaan perkebunan,” katanya melalui keterangan tertulis.

Mekanisme FPKM 20 persen dilakukan oleh perusahaan perkebunan kepada masyarakat sekitar melalui beberapa bentuk, antara lain melalui pola kredit, pola bagi hasil, bentuk pendanaan lain yang disepakati para pihak dan/atau bentuk kemitraan lainnya.

BACA JUGA:   Komisi VII DPR Desak Plt Dirjen Minerba Koordinasi Terkait IPR di Kepulauan Bangka Belitung

“Serta kegiatan usaha produktif untuk masyarakat sekitar bagi perusahaan dengan kondisi tertentu,” katanya.

Heru menegaskan FPKM 20 persen hanya berlaku bagi perusahaan perkebunan yang mendapatkan IUP setelah Februari 2007, yang mana hal ini sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 26 Tahun 2007.

“Yang sebelumnya, jika sudah ada kemitraan dalam usaha produktif atau PIR (perkebunan inti rakyat) maka tidak kena (aturan FPKM 20 persen),” ujar Heru.

Menurut dia, apabila di sekitar kebun milik perusahaan tidak ada lahan yang cukup yakni 20 persen dari kebun yang diusahakan, maka harus dilihat kapan perusahaan tersebut mendapatkan perizinan berusahanya, sesuai dengan regulasi yang berlaku pada saat itu.

Untuk kondisi tertentu, FPKM 20 persen dapat dilakukan melalui kegiatan usaha produktif, tambahnya, setelah lahan dan masyarakat sekitar kebun dinyatakan mencukupi, maka langkah selanjutnya dilakukan kesepakatan.

BACA JUGA:   Cegah Inflasi, Banggar DPR Minta TPID Pantau Komoditas Pangan Jelang Lebaran 2024

Dengan demikian, menurut Heru, masyarakat tidak dibenarkan mengambil paksa kebun inti tertanam milik perusahaan apabila tidak ada lahan yang akan dimanfaatkan sebagai kebun kemitraan.

“Tidak dibenarkan apabila ada pihak yang memaksa mengambil kebun inti tertanam dalam HGU (hak guna usaha) atau IUP (izin usaha perkebunan) milik perusahaan,” katanya.

Saat ini, Ditjen Perkebunan sedang menggodok rancangan peraturan terkait penentuan nilai optimum produksi kebun. Aturan ini mengacu pada Pasal 7 ayat (4) Permentan No 18 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar.

Nilai optimum produksi kebun tersebut, lanjut Heru, merupakan hasil produksi neto rata-rata kebun dalam 1 tahun yang ditetapkan secara berkala oleh Direktur Jenderal Perkebunan. (Antara).