Pahlawan Pejuang Kebersihan di Sepanjang Barisan Tulang Rusuk Naga

NARDI/BERITA SAMPIT - Pahlawan Kebersihan, Fitriah saat menjalankan tugasnya di Kawasan PJU Nur Mentaya.

Fitriah, perempuan 48 tahun, sejak pukul 05.00 WIB setiap pagi sudah tampak kelihatan di kawasan Jalan Tjilik Riwut, dia pejuang kebersihan yang selalu ingin membuat bersih kawasan PJU Nur Mentaya Sampit, ditengah kabut asap sekalipun dirinya tetap bekerja seperti biasa tanpa memikirkan kesehatan demi indahnya jalur itu

Sampit, Ahmad Winardi

Matahari belum sepenuhnya menampakkan sinarnya, aroma kabut asap pagi Kota Sampit menusuk penciuman, terlihat sosok-sosok diantara tebalnya kabut pagi di bawah tiang-tiang berbentuk bagaikan barisan tulang rusuk naga.

Suara sapu lidi yang menggores-gores aspal jalanan berulang-ulang terdengar dari kejauhan, itu adalah ulah mereka, para pejuang kebersihan kawasan Penerangan Jalan Umum (PJU) Nur Mentaya Jalan Tjilik Riwut Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Selasa 22 Agustus 2023.

Ya, mereka bisa dikatakan sebagai sosok pahlawan yang juga berjuang menjalankan tugas yang bahkan disaat kabut asap tercium pekat mereka tetap berangkat, dan bahkan mungkin tak disadari para penunggang kuda besi di jalan raya saat melintas, hanya sahutan ayam jago milik warga sekitar yang terdengar seolah memberikan semangat pada mereka.

Nur Mentaya setiap malam begitu dikagumi dengan keindahan cahayanya yang menerangi jalan, barisan lengkungan lampu membentuk terowongan menjadi tempat berkumpul teman, saudara, kekasih dan keluarga. Namun masyarakat terkadang lupa ada sosok dibalik layar yang senantiasa bekerja keesokan paginya agar wisata baru itu senantiasa enak dipandang baik siang maupun malam.

Salah satu pahlawan itu adalah Fitriah, sosok ibu yang biasa berangkat sekitar pukul 05.00 WIB, disaat dimana orang-orang masih di dalam rumah yang hangat dan nyaman. Sementara wanita yang berusia 48 tahun itu sudah harus bekerja membersihkan jalanan berselimut dinginnya udara pagi untuk membersihkan Kawasan Nur Mentaya.

Jika mereka tidak hadir, maka dipastikan sampah akan berbaris sepanjang jalan yang terbagi empat jalur dari Stadion 29 Nopember hingga Bundaran Ikan Jelawat, membuat pemandangan yang ironis dibawah tiang-tiang mewah dengan ornamen yang begitu indahnya. “Saya sudah biasa berangkat jam 5 dari rumah, lebih pagi maka lebih cepat selesai, ini semua demi bekerja membersihkan sampah,” kata Fitri yang penghasilannya untuk membiayai anak sekolah di pesantren dan kuliah ini.

Fitri menceritakan jika hanya berharap dari hasil menjadi petugas kebersihan maka untuk biaya hidup sehari-hari akan kurang karena semua harga barang dan kebutuhan pokok yang semakin mahal. “Makanya selain sebagai petugas kebersihan, saya mencari sampingan dengan menjadi pengasuh anak,” ujarnya.

Ibu yang tinggal di Jalan Sari Gading Baamang ini berharap agar di momen Kemerdekaan Republik Indonesia, para pahlawan yang berjuang membersihkan sisa-sisa sampah makanan, minuman dari para penikmat malam di Nur Mentaya itu bisa mendapat perhatian dari pemangku kepentingan. Tentunya yang mereka inginkan yaitu kesejahteraan.

Disaat para tokoh-tokoh berdasi itu melaksanakan upacara, bersuka cita dengan perayaan kemerdekaan, semua mata tertuju pada kemegahan barisan pawai, sepeda hias dengan sayap garuda, suara senar dan bass drumband, kostum cantik yang mempesona, serta mobil yang dihias bagai kendaraan perang, mampu memukai para penonton yang hadir dari penjuru kota.

Namun ketika pesta selesai, barulah pahlawan kebersihan unjuk kebolehan membersihkan sisa-sisa sampah masyarakat yang berserakan disepanjang jalan dengan cekatan, disaat semua penikmat pesta tadi sudah pulang tanpa menyadari keberadaan mereka.

Masyarakat akan sadar disaat mereka tidak ada, mogok kerja atau libur, karena sampah pasti akan menumpuk, depo sampah akan penuh, keributan akan terjadi untuk mendesak agar para pahlawan yang tak dilirik itu segera bertugas.

“Begitulah kami biasanya mereka tidak peduli dengan sampah mereka, dibuang begitu saja karena ada petugas kebersihan,” ungkapnya.

Masih membekas diingatan masyarakat ketika awal PJU Nur Mentaya pertama berdiri, masalah sampah yang berserakan terlihat saat siang, setelah masyarakat menikmati cahaya lampu dipinggir jalan itu menjadi sesuatu yang tak elok bagi mata yang memandang.

Hingga akhirnya sedikit demi sedikit masalah kebersihan bisa terselesaikan dengan adanya para pejuang kebersihan serta kesadaran diri mulai tumbuh dari para penjaja makanan maupun minuman untuk menyediakan tempat sampah, sehingga cahaya lampu itu tidak ternodai dengan bercak sampah berserakan dibawahnya.

“Saya berharap agar semua bisa sadar akan kebersihan, sehingga pekerjaan kami juga lebih ringan,” ungkap Fitri yang menggunakan hijab coklat, kaos panjang berwarna kuning, celana hitam panjang dan sepatu hitam.

Sembari memakai masker kain berwarna kuning yang sudah usang, membawa sapu lidi, pengki dan bak sampah berwarna hijau, setiap hari menyapu jalan sepanjang sekitar 750 meter, bersama sekitar delapan rekannya membersihkan sepanjang kawasan Nur Mentaya.

Ia menuturkan jam berangkat kerja itu terserah mereka, jika sudah selesai maka bisa pulang sehingga ia memilih berangkat lebih pagi hingga bisa selesai lebih awal dan bisa melanjutkan aktivitas lainnya.

Fitri berharap agar semua pihak bisa sadar akan kebersihan, dengan adanya sinergi antara masyarakat penikmat malam penuh cahaya lampu, pengais rezeki menyediakan berbagai jajanan, serta para petugas kebersihan bersama-sama untuk dapat mewujudkan Nur Mentaya yang bersih maka cahaya dari dari Nur Mentaya akan terus bersinar.

Matahari mulai meninggi, udara dingin mulai terasa hangat dan para pejuang kebersihan sudah selesai dengan tugas mereka dan pulang ke rumah masing-masing, suasana jalan raya sudah mulai ramai dengan kendaraan bermotor yang bahkan tak tahu ada aktivitas apa di pagi hari itu. (Nardi)