Janji Setia Sahati

    Oleh: Ajid Kurniawan
    Ada komentar dari Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) Supian Hadi yang masih terekam dalam memori saya. Komentar itu terlontar pada acara diskusi publik yang digelar Radar Sampit. Diskusi bertemakan “Menatap Perekonomian Kotim ke Depan” itu menghadirkan pembicara para kandidat Pemilukada Kotim 2010. 

    Dari tujuh pasangan calon kepala daerah yang berkompetisi pada saat itu, hanya tiga kandidat yang memanfaatkan “panggung” tersebut. Tiga pasangan “berani” tersebut adalah Supriyadi-Yuendri Irawanto, Supian Hadi-Taufiq Mukri, dan Fajrin Rahmadani-Nurensih. Kepada saya melalui pesan pendek, SHD—short code Supian Hadi sempat bertanya mengenai model diskusi yang akan dilakukan. Setelah mendapat gambaran detail mengenai format diskusi, dengan mantap ia menyatakan siap hadir.

    Sahati, akronim nama pasangan Supian Hadi-Taufiq kompak hadir pada saat itu. Mereka yang hadir mendampingi keduanya saat diskusi merupakan jumlah terbanyak dibandingkan dua pasangan yang telah berdiskusi lebih dulu.

    Sebuah pengakuan ia sampaikan pada awal diskusi sebelum sesi tanya jawab berlangsung. SHD berkata: “Saya bukanlah orang yang pandai, tetapi saya memiliki semangat untuk terus belajar”. Dari lontaran kalimat itu, SHD secara tidak langsung ingin menyampaikan bahwa ia telah melakukan analisis SWOT terhadap dirinya. Mantan Ketua DPRD Kotim itu berbicara mengenai kadar kelayakan dirinya untuk menjadi kepala daerah.

    Dari diskusi tersebut, saya mencatat ada beberapa hal yang bersinggungan dengan analisis SWOT, dan secara tidak langsung disampaikan oleh SHD. Potret politisi muda, kaya pengalaman politik, bergaul ke bawah, dan pengusaha sukses menjadi kekuatan SHD (strengths). Kelemahannya (weakness) adalah minim pengalaman pemerintahan, namun kelemahan ini tertopang oleh Taufiq Mukri–pasangannya yang berlatar belakang birokrat. Kelemahan lainnya, figur muda usungan PDI Perjuangan tersebut memiliki emosi labil. Namun, kelabilan emosi tersebut kembali tertopang oleh figur “Bapak” Taufiq Mukri. 

    Dengan latar belakangnya sebagai pengusaha, pada Pemilukada Kotim 2010, SHD memiliki peluang (opportunities), di antaranya kedekatan dengan media, dukungan kalangan pengusaha, dan jumlah pemilih pemula dan pelaku UMKM yang cukup siginifikan. Pemilukada Kotim 2010 nyaris kurang memiliki ancaman (threats) bagi SHD dan kandidat lainnya, mengingat calon petahana telah berakhir jabatannya (dua periode).

    Ungkapan yang berbunyi, “Gagal mempersiapkan perencanaan sama dengan merencanakan kegagalan”, tampaknya disadari benar oleh Sahati dan tim pemenangan pada Pemilukada 2010. Kerja politik yang disandarkan pada logika, rasionalitas, serta terukur dan terencana telah mengantarkan Sahati sebagai kampiun.

    Sebagai calon petahana pada Pemilukada Kotim 2015, analisis SWOT terhadap SHD yang kembali berpasangan dengan Taufiq Mukri tentu saja mengalami perubahan. Sebagai petahana, kinerja pemerintahan selama lima tahun menjadi ancaman baru bagi Sahati. Kelemahan pemerintahan itu berpotensi untuk ditarik dalam lingkaran perdebatan oleh lawan-lawan politik Sahati.

    ***

    Bukan hal mudah untuk menjaga kekompakan. Fakta memperlihatkan 96 persen dari 596 kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak akur alias “pisang ranjang” dalam menjalankan roda kepemimpinan. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Bagaimana mungkin pemimpin di daerah yang tidak kompak dapat mengatur, menata, membangun, serta melaksanakan program sebagaimana visi dan misi mereka. Iklim pemerintahan yang tidak sehat, tentu tidak akan menghasilkan hal-hal positif dalam pemerintahan mereka.

    Kesetiaan Supian Hadi dan Taufiq Mukri untuk terus bergandengan pada Pemilukada Kotim 2015 menjadi menarik untuk dicari tahu pertimbangannya. SHD yang merasa tidak pandai rupanya pandai merasa. Itu menjadi kunci utama keharmonisan mereka. Mereka mempunyai visi dan misi yang sama. Mereka juga memiliki keinginan yang sama untuk membangun dan memajukan daerah yang dipimpinnya. Mereka berupaya saling mengisi atas kekurangannya masing-masing. Perbedaan usia antara dua generasi berbeda itu justru menjadi pelengkap “rasa”. 

    “Walaupun secara usia beliau (Taufiq Mukri, Red.) di atas saya, beliau selalu menempatkan dirinya sebagai wakil bupati yang sangat menghargai saya selaku bupati usia yang sangat muda,” kata SHD.

    Kepala daerah sebagai jabatan politik sangat rawan intervensi politik. Itu disadari benar oleh SHD dan Taufiq Mukri. Maka, mereka membangun komitmen untuk tidak saling mengedepankan kepentingannya masing-masing, selain politik membangun dan mensejahterakan masyarakat. “Saya merasa nyaman dengan kebersamaan ini, begitupun sebaliknya,” ujar SHD.

    Sebagai wakil bupati, SHD menilai tugas dan tanggung jawab yang diamanatkan kepada Taufiq Mukri mampu dijalankan dengan baik. Koordinasi dan komunikasi dalam mengatasi berbagai permasalahan di daerah juga berjalan dengan baik. Yang terpenting, mereka sudah sepakat untuk menjalankan pemerintahan dengan tidak saling mengorbankan atau menjatuhkan satu sama lain.

    Sebagai kepala daerah, SHD juga mencermati fenomena “pisah ranjang” kepala daerah dan wakil kepala daerah. Menurut dia, hal tersebut disebabkan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki tujuan dan kepentingan politik yang selalu berbeda. 
    “Belajar dari fenomena itu (pisah ranjang, Red), saya mencoba mencari akar masalahnya.

    Ternyata kuncinya sangat mudah, yakni komunikasi, koordinasi, konsultasi, saling memahami dan menghargai, jangan menghianati, serta membuang semua ambisi untuk kepentingan pribadi,” ujarnya. (*Penulis praktisi media, tinggal di Balikpapan, Kalimantan Timur)