LANGKAH LANJUT RAZIA PBS BODONG

    Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH.**

    PERNYATAAN Gubernur Kalteng, Sugianto Sabran bahwa areal PBS bodong akan diambil alih (bahasanya dirampas) oleh Pemerintah Daerah menarik untuk dicermati. Satu faktanya, bahwa ternyata lahan itu telah diperebutkan oleh warga masyarakat dan diklaim menjadi lahan yang mereka kelola.

    Jadi seandainya, sekali lagi seandainya lahan itu akan diambil alih oleh Pemerintah Daerah, secara teknis akan menemui kesulitan.

    Apa lagi berkembang kemudian bahwa secara administrasi lahan itu telah beralih penguasaannya kepada perusahaan lain.

    Kendatipun tanaman yang ada di atasnya dikuasai oleh rakyat, namun secara administrative penguasaan lahan itu legal ada di perusahaan lain.

    Atas keinginan gubernur untuk menguasai kembali lahan PBS bodong dimaksud menjadi semakin kompleks.

    Dari pernyataan untuk merampas ini, dapat dipahami bahwa keinginan dimaksud cenderung sebagai refleksi solusi yang hanya bersifat gertakan.

    Realisasinya akan sulit dilaksanakan, kalau tidak boleh dikatakan tidak mungkin. Meminjam istilah Asmuni Srimulat, sesuatu hil yang mustahal. Beberapa hal berikut adalah penyebabnya.

    Pemisahan Horisontal

    Pertama yang kiranya memerlukan klarifikasi adalah dianutnya asas pemisahan horizontal (horizontal scheiding) di dalam permasalahan yang berhubunbgan dengan tanah dan pemanfaatannya.

    Bahwa dalam kaitan dengan PBS ini, tanah tetap merupakan asset milik Negara. Sementara tanaman (sawit) yang ada di atasnya adalah milik pengusaha. Atas tanaman itu melekat HGU (Hak Guna Usaha) dengan jangka waktu tertentu yang bisa diperpanjang untuk periode berikutnya.

    Adanya kenyataan bahwa perkebunan itu sekarang dikuasai oleh rakyat dengan berbagai kapling itu menjadi kesulitan tersendiri untuk klarifikasi berikutnya. Tentu jika realisasi perampasan dilakukan tidak dengan serta merta rakyat yang menguasai begitu saja diusir.

    Sementara meskipun tanah secara administratif kembali menjadi milik Negara, akuisisi atau penguasaan kembali tidak mudah.

    Di samping memerlukan klarifikasi atas riwayat tanah yang tentunya menjadi hak pengusaha perkebunan, tindakan untuk mengakuisisi atau menjadikan sebagai milik pemerintah daerah harus didahului oleh klarifikasi administrative atas penguasaan tanah dimaksud.

    Hal ini yang kiranya tidak bisa dilakukan karena tidak ada dasar hukum yang dapat dijadikan sebagai legitimasi atas tindakan tesebut.

    Tindakan itu tidak semata berkaitan dengan peralihan penguasaan, namun harus disertai tindakan lain berupa perubahan penguasaan, dan ini memerlukan klarifikasi serta tindakan yang sementara belum ada dasar hukumnya.

    Memang, berdasarkan asas pemisahan horizontal, dimungkinkan dalam satu bidang tanah yang sama terdapat beberapa hak kepemilikan atas tanah secara bersamaan.

    Konkretnya di sini ada tanah dalam penguasaan PBS dengan Hak Guna Usaha (HGU), dan pada saat yang sama dibuat perjanjian dengan pihak rakyat untuk melakukan pengelolaan pada lahan tertentu.

    Jadi dalam sebidang tanah, ada dua hak yang melekat. Hak primer yaitu hak milik (HGU dari pengusaha PBS atau ada hak individu ataupun hak menguasai negara). 

    Sementara pada lahan yang sama, ada hak yang bersifat sekunder (Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan lain-lain).

    Permasalahan asas pemisahan horizontal akan mencuat apabila terjadi kasus yang setelah hak sekundernya berakhir pemegang hak milik tadi ingin mengusahakan tanah tersebut sendiri. 

    Hal ini yang kemudian harus diklarifikasi oleh Pemerintah Daerah sehingga tanah itu kemudian menjadi zero kepemilikan dan pemerintah daerah dapat masuk menguasainya.

    Bahasa Administratif

    Muara dari pernyatan gubernur untuk mengambil alih (merampas) lahan yang diklaim sebagai PBS bodong, didasari oleh razia yang dilakukan oleh tim. 

    Tim dibentuk adalah dalam rangka menelisik, untuk menemukan adanya pelanggaran atau tidak ada pelanggaran terhadap apa yang menjadi dasar kinerja tim.

    Selanjutnya tindakan tim akan tergantung kepada isi keputusan atas pembentukannya. Apakah cukup melaporkan temuan di lapangan kepada instansi pembentuk tim (dalam hal ini lembaga Pemerintah Daerah) atau disertai dengan tindak lanjut sebagai semacam eksekusi atas terjadinya pelanggaran atau tidak.

    Itu semua tergantung pada isi SK pembentukan yang tentunya didasarkan atas kewenangan yang dimiliki oleh pembentuk TIM.

    Namun demikian pembentukan sebuh tim dengan pola kinerja dan batas wewenang ternentu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang ada di atasnya.

    Bahwa keinginan untuk mengambil alih PBS yang terbukti secara administratif bodong itu adalah keinginan yang sangat baik. Keinginan yang secara substantif mencerminkan tujuan akhir daeri sebuah aktivitas bernama razia tadi.

    Pertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dimaksud khususnya menyangkut legitimasi dari upaya pengambilalihan.

    Permasalahannya adalah pengambilalihan itu akan diwadahi dimana?. Ada wacana (sekali lagi wacana) misalnya dikelola oleh Perusahaan Daerah (Perusda). 

    Dalam hal ini harus disadari bahwa keberadaan suatu Perusda diatur oleh peraturan perundang undangan, dan paling bawah dari peraturan perundangan dimaksud adalah Peraturan Daerah (Perda).

    Perda tentang masalah tertentu (dalam kaitan ini Perda tentang Perusda) tentunya mengatur tentang usaha apa dan bagaimana mekaisme kinerja dari Perusda untuk mengelola berbagai usaha yang diatur didalamnya.

    Apakah Perda tentang pembentukan dan selanjutnya kinerja dari Perusda dimaksud dapat mewadahi permasalahan yang berhubungan dengan perampasan asset yang berasal dari PBS bodong?.

    Untuk sementara, berdasarkan nomenklatur standar Perusda akan tidak ditemukan wadah yang dapat dijadikan sebagai legitimasi penampungan barang rampasan atau lahan pengambialihan PBS.

     Jika demikian maka pengambilalihan ini bisa diklasifikasikan sebagai illegal. Untuk itu pada gilirannya akan menimbulkan sengketa hukum yang bearti akan memperpanjang masalah.

    Oleh karena itu ketika keinginan Pemerintah Daerah untuk mengambilalih lahan PBS bodong ini harus disertai dengan tindakan hukum lain yang bersifat administratif. Misalnya dengan menata kembali aturan tentang Perusda. Kalau tidak, sekalilagi pengambilalihan itu akan memunculkan permasalahan di hilirnya.

    Pada sisi lain bisa dimaknai bahwa sebenarnya pengambilalihan itu hanya semacam gertakan agar PBS lain yang belum kena razia segera berbenah. Tidak menutup kemungkinan razia akan terus digencarkan untuk menertibkan PBS bodong.

    Kalau memang bahasanya seperti ini, maka sebenarnya razia yang dilakukan, dan pernyataan gubernur itu hanya sebagai tindakan yang tidak membawa akibat lebih lanjut. Sekadar rutinitas penertiban yang tidak bermakna. Seperti kalimat yang sering dilontarkan: seperti macan ompong.

    (**Doktor Kehutanan Unmul Samarinda, Pengamat Hukum dan Sosial Tinggal di Sampit)