Tak Berdaya Akibat Penghasilan Menurun, Nelayan Desa Ujung Pandaran Curhat

    SAMPIT – Abdulah (46) tampak telaten memasukkan benang pada jaring penangkap ikan miliknya yang tengah diperbaiki di atas perahu pada suatu siang, Sabtu (21/10/2017) lalu.

    Dia adalah nelayan Desa Ujung Pandaran, Kecamatan Teluk Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah yang saat ini dilanda galau, dampak dari menurunnya penghasilan saat ini.

    Awal pembuka perbincangan, Abdulah menceritkan bahwa keseharian dan waktunya lebih banyak dihabiskan di laut, baik ketika menangkap ikan atau sekedar membenahi alat pancingnya usai menangkap ikan seharian hingga malam hari.

    Desa Ujung Pandaran bertetangga dengan Desa Lempuyang dan dibatasi oleh aliran sungai. Jalanan di sana cukup mulus tidak bergelombang namun sedikit berlobang. Desa tersebut dihuni oleh warga yang sebagian besar hidup bergantung dari kekayaan lautnya.

    Saat sejumlah awak media cetak, online dan elektronik menyambangi desa itu dan langsung menuju dermaga, kapal-kapal nelayan terlihat banyak yang bersandar.

    Mereka baru selesai menangkap ikan di lepas pantai, yang berjarak sekitar 3 mil. Di wilayah itu merupakan pusat habitat berbagai jenis ikan tangkap dan menjadi titik penangkapan ikan nelayan Pantai Ujung Pandaran.

    Namun saat ini, para nelayan pantai ujung pandaran dan dari daerah lainnya sedang mengalami masa-masa sulit, karena ada pengerukan pasir laut yang saat ini masih rutin beraktifitas. Penambangan tersebut berada di kawasan tangkap yang dituju para nelayan.

    Produksi pasir yang diambil ini diketahui untuk memasok kegiatan reklamasi teluk Jakarta, sedikitnya ada tiga perusahaan yang mendapatkan IUP untuk penyedotan pasir laut itu yakni, PT. Prakarsa Sejati, PT. Kalmin Raya dan PT. Kalmin Sejahtera. Ketiganya masing-masing mendapat izin eksplorasi areal laut seluas 5.000 hektare.

    ” Ya agak mendingan waktu dulu tangkapan ikan lumayan banyak, sekarang sudah sangat susah sekali, sejak penambangan pasir laut ada di muara sana,” tutur Dulah menceritakan keluhan ekonominya pasca ada kapal pengeruk pasir di lokasi tangkapan mereka.

    Lebih detail Dulah menjabarkan, kegiatan penambangan pasir saat ini diketahui tengah berlangsung rutin, kadang kapal-kapal besar tersebut berlabuh senyap di tengah laut, setelah tiga jam beralabuh pasir diatas kapal langsung penuh dan satu-persatu meninggalkan perairan dimuara. Dulah dan nelayan lainnya sangat sedih melihat hal itu.

    Dia bahkan menuturkan ketika kapal pengeruk pasir hilir mudik di daerah tangkap ikan, para nelayan harus ‘berhadapan’ dengan kapal-kapal besar itu. Ditambah wilayah tangkapnya menjadi tercemar dan ikan-ikan pun hilang, hal ini membuat menurunnya pendapatan secara drastis.

    “(Saat Kapal Pengeruk Pasir) beroperasi susah lah, siang-malam itu ngegarapnya, kan ikan itu pada lari. Air nya juga jadi keruh. Sekarang kita nelayan bingung mau cari ikan di spot yang mana karena memang diwilayah itu jala sering ditebar,” lanjutnya.

    Dulah mengungkapkan, sebelum ada penambangan pasir ini sudah sangat mudah didapat ketika menebar jala ke laut. penambangan pasir itu juga, membuat penghasilan per hari dirinya menurun. Pasalnya, dirinya dan nelayan lain terganggu dengan aktifitas kapal pengeruk, yang membuat ikan-ikan menghilang.

    “Ikan dapat 200 ribu (rupiah) per hari, Itu dulu, sekarang ada pertambangan turun, bisa cuma Rp 50 ribu sampai Rp100 ribu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Tapi ya gak balik modal, kadang buat beli solar aja gak cukup,” ungkapnya.

    Dia menambahkan, dirinya bersama nelayan lain berharap hanya kepada pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat bisa segera mengevaluasi izin yang diberikan kepada tiga perusahaan yang melakukan aktifitas penambangan pasir laut tersebut.

    Hal ini, menurutnya karena dampak dari penambangan pasir itu, betul-betul dirasakan oleh para nelayan yang bergantung hidup pada hasil tangkapan ikan laut. (drm/beritasampit.co.id)

    Editor: DODY