NASIB KPK DALAM RUU KUHP Oleh: H. Joni.***

    Dimasukkannya delik korupsi dalam Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RUUKUHP) dinilai akan mengancam integritas lembaga pemberantas korupsi dalam hal ini KPK.

    Pada hal selama ini KPK dikenal sebagai sebuah lembaga yang konsisten tanpa kompromi memberantas korupsi dengan tract record tidak tercela di tanah air. Sekaitan dengan hal ini, dalam RUUKUHP yang dibahas saat ini delik korupsi masuk dalam pasal 687-706.

    Sementara “saudaranya” yaitu delik Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ada di pasal 767. Pembahasan terus berlangsung intens sampai saat ini, dengan pola semacam sosialisasi dan brainstorming di masyarakat.

    Diskjusi dari para pakar, berbagai forum ilmiah diselenggarakan agar nantinya ketika sudah menjdi Undang Undang komponen strategis pada level UU ini benar benar operasional dan tidak terasing di masyarakat.

    Sejauh yang bisa disampaikan bahwa bagian terbesar anggota parlemen setuju dengan dimasukkannya Tipikor dalam KUHP yang baru, sehingga nantinya berpotensi besar untuk tidak ada lagi UU Tipikor dan UU KPK

    Fakta Yuridis*
    Sebagaimana diketahui, bahwa KUHP peninggalan Belanda ini sudah sedemikian lama dirasakan tak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat abad milennium ini.

    KUHP yang dibuat dan berlaku di tanah air sejak tahun 1915, yang bersumber dari wetboek van strafrect abad pertengahan tidak memasukkan berbagai tindak pidana mutakhir yang justru menggerus integritas kehidupan besama dan mengancam kehidupan pribadi.

    Pada konteks demikian, keberadaan RUU KUHP ini sudah mulai digagas pada keanggotaan DPR pada periode 2004 – 2009 yang lalu. Terus berlanjut hingga tahun 2015, berarti lebih serratus tahun kemudian dari sejak diberlakukannya, secara resmi DPR memasukkan RUUKUHP sebagai bagian kinerja Baleg (Badan Legislasi).

    Hal ini menunjukikan kesungguhan negara (diwakili pemerintah dan DPR) memperbarui KUHP peninggalan kolonial dimaksud.
    Sekaitan dengan ini DPR dan pemerintah memasukkan 20 tindak pidana inti (core crime), yang selama ini datur dalam berbagai peraturan khususnya UU sebagai tindak pidana khusus.

    Secara normative hal ini juga dimaksudkan sebagai kebijakan yang konsisten mempertahankan politik kodifikasi. Menjadikan satu sektor hukum berdasarkan satu Undang Undang yang berlaku secara nasional.

    Sekaitan dengan hal ini sesuai dengan komitmen pembaruannya, bahwa dengan dimasukkannya tindak pidana korupsi ke KUHP, keberadaan KPK bakal kehilangan eksistensi. Dalam Bahasa sederhana jika selama ini begitu garang akan bergeser sekadar menjadi macan ompong.

    Atau sebagai lembaga yang kehilangan pola kinerja. Sebab sesuai dengan ketentuan dalam UU Tipikor, bahwa KPK mendasarkan kinerjanya berdasarkan UU Tipikor. Sementara ketika kemudian masuk delik KUHP dan dihapus UU Tipikor dimaksud maka KPK akan kehilangan legitimasi kinerjanya.

    Dipahami, bahwa dalam pemahaman secara akademik dan praktik, masuknya delik tipikor ke dalam KUHP akan mereduksi kewenangan yang dimiliki KPK.

    Argmentainya sangat jelas, bahwa korupsi bisa menjadi ranah tindak pidana umum jika diatur dalam KUHP dan bukan lagi menjadi ranah KPK. Keberadaannya tak lagi sebagai extra ordinary crime tetapi tindak pidana biasa, sebagaimana tindak pidana konvensional lainnya.

    Dari sisi kewenangan, yang berimplikasi kepada kinerja maka masuknya delik korupsi ke dalam KUHP akan berdampak pada kewenangan yang yang selama ini menjadi Standart Operasional Procedure atau SOP dari KPK.

    Dari sisi kinerja teknis, bahwa dalam hal kinerja KPK yang dimulai dari pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta menyangkut wiretapping (penyadapan), misalnya akan hilang dengan sendirinya.

    Fakta yuridis menunjukkan bahwa selama ini, kewenangan penindakan KPK diatur secara khusus dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK.

    Dengan masuknya delik korupsi ke dalam KUHP, fungsi penindakan oleh KPK, seperti penyidikan dan penuntutan, akan dialihkan ke Polri dan kejaksaan sebagai Lembaga penegak hukum reguler. Hal demikian dinilai berdampak pada delegitimasi kelembagaan KPK.

    Jadi tegasnya dari RUU KUHP ini terlihat bahwa adanya delik korupsi dalam RUU KUHP akan mengebiri kewenangan KPK. Sebab penyidikan kasus korupsi akan dimonopoli oleh Polri dan kejaksaan.

    Apa lagi kewenangan penyidikan Polri terhadap delik korupsi tidak terbatas pada maslah korupsi, tetapi juga berbagai tindak pidana lain yang selama ini dikenal sebagi tindak pidana khusus.

    Orientasi Idealisme*
    Memang secara normatif RUU ini masih dibahas, namun sebagaimana dikemukakan bagian terbesar anggota DPR akan menetujuinya jika tidak dikawal dengan kritis serta terus berkelanjutan.

    Memang secara normatif pemerintah pun merespons semua masukan, termasuk dari KPK yang secara keras menolak masuknya delik korupsi dalam RUU KUHP dimaksud.
    Idealismenya sesuai dengan keterangan pemerintah adalah untuk membangun sistem hukum pidana yang baik dan benar.

    Sebab, tindak pidana korupsi sebagai lex specialis memerlukan lex generalis atau core crime dalam hukum pidana. Akan tetapi dengan memasukkannya dalam RUUKUHP, dan jika nanti disetujui bukankan akan memberangus eksistensi KPK.

    Apakah dengan demikian, kedudukan UU Tipikor yang selama ini dipandang sebagai lex specialis akan kehilangan fungsi dan perannya. Secara normatif tentu jawabnya iya, karena dalam RUUKUHP sudah jelas mengatur mengenai delik korupsi dimaksud.

    Semenara dalam UU Tipikor sudah menjadi acuan dalam pemberantasan korupsi sejak lama. Entah sebagai bahan hiburan atau bagaimana, dimisalkan bahwa kondisi dan keadaan semula jujga terjadi di Lembaga lain.

    Misalnya saja pada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) yang kewenangannya tidak akan hilang meski tindak pidananya diatur di KUHP. Apakah nasib KPK juga seperti ini ?

    Waktu yang akan menjawabnya, namun dari perhitungan dan kalkulasi dari yang terjadi selama ini sepertinya berbeda antara KPK dengan Lembaga yang dicontohkan itu.****** Notaris, Doktor Kehutanan Unmul Samarinda, Pengamat