Benarkah “Mahar Politik” Terjadi di Kongres HMI XXX, Adakah Solusinya?

    MEMASUKI awal tahun 2018 suhu perpolitikan di negeri ini mulai terasa, baik dari perbincangan masalah pergantian kepala daerah, persiapan pemilihan anggota legislatif, hingga pemilihan Presiden pada 2019 mendatang.

    Manuver politik dari pencitraan hingga penggiringan opini untuk menjatuhkan rival politik masing-masing terus dipertontonkan dipublik seperti sebuah drama, tak kala ketika semua upaya sudah tidak dapat dilakukan jurus terakhir adalah “menyalahkan” atau merasa “didzholimi” agar mendapat simpatik dari masyarakat.

    Seperti kasus yang sempat heboh masalah “Mahar Politik” dalam perebutan rekomendasi partai politik model B.1 KWK sebagai syarat pencalonan menjadi peserta pemilu dalam pemilihan kepala daerah beberapa waktu yang lalu.

    Eksistensi mahar Pilkada dalam perebutan surat rekomendasi ibarat kentut (buang angin) yang terasa baunya, tapi bendanya tidak terlihat. Mahar Pilkada merupakan fenomena politik transaksional, politik pragmatis dan politik oportunis.

    Ternyata, tahun 2018 juga menjadi tahun “Politik” bagi Organisasi kemahasiwaan yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam perebutkan posisi Ketua Umum PB HMI pada Kongres XXX di Ambon, persoalannya pun hampir sama dimulai dari perebutan rekomendasi cabang-cabang sebagai persyaratan pencalonan.

    Kongres HMI merupakan sebuah pesta demokrasi dua tahunan sekali bagi internal HMI para elit politik tingkat pusat pun tak jarang ikut mempengaruhi kontestasi Kongres HMI, hal ini bukan karna tidak ada sebab, HMI adalah Organisasi kemahasiswaan yang tertua di Indonesia, dengan usianya 71 tahun memiliki 200-an lebih cabang Se-Indonesia, sehingga tak bisa kita tapikan kongres HMI merupakan sebuah helatan yang “seksi” bagi para politisi menaruh kepentinganya.

    Mulai ramai diperbincangkan di internal HMI, perebutan rekomendasi dilakukan oleh para kandidat, cabang-cabang HMI Se-Indonesia pun terbagi dari berbagai kelompok, yaitu cabang ideologis, cabang pragmatis, hingga cabang yang apatis.

    Tak jarang perebutan rekomendasi dilakukan dengan cara-cara yang transaksional, pragmatis hingga oportunis, baik langsung ke oknum pengurus cabang atau jalur oknum senior yang berkepentingan.

    Bentuk mahar yang dijanjikan bermacam-macam, dari bentuk uang, transport kongres (tiket/mobil), penginapan selama kegiatan, entah benar atau tidak? Semoga itu tidak benar karna jauh dari Organisasi Kemahasiswa? Kalau pun itu benar patut kita bertanya dari manakah itu semua? Akankah kita menjual harga diri Himpunan kita? Saya selalu mayakini proses yang diawali dengan hal yang tidak benar tentu hasilnya pun tidak jauh berbeda.

    Lalu menjadi pertanyaan selanjutnya bagaimanakah solusi persoalan ini? Pertanyaan ini pun pernah ditanyakan saat isu mahar politik dalam Pilkada mencuap di publik?

    Banyak kalangan mengungkapkan untuk meminimalisir mahar politik dalam pilkada proses pemilihan sebaiknya dikembalikan melalui dewan perwakilan daerah (DPR). Ada beberapa keuntungan yaitu menghemat anggaran, memperkecil kegaduhan politik dan lain-lain.

    Tentu ada yang pro maupun kontra, namun ini merupakan sebuah gagasan yang muncul saat melihat keprihatinan terhadap kondisi negara dalam kegaduhan politik nasional maupun lokal.

    Lalu bagaimana solusi untuk kongres HMI, penulis mencoba melihat persoalan yang sering terjadi di tubuh HMI ketika berkongres, pertama masalah jual beli dukungan, Kedua, masalah keributan kader-kader HMI saat berkongres yang tidak jarang adu fisik, ketiga hilangnya Uhkuwah Islamiyah sesama anggota HMI di arena kongres yang seharusnya menjadi ajang silahturahmi. Tentu saat saya meluntarkan hal ini pasti akan ada pro dan kontra.

    Menurut penulis sebaiknya Kongres HMI dilakukan oleh perwakilan Badko-Badko Se-Indonesia saja, pertama menghemat biaya Kongres, kedua meminimalisir konflik, dan ketiga ada ruang khusus untuk membahas AD/ART HMI yang ingin melakukan perbaikan maupun perubahan.

    Konsekuensi dari itu maka kita harus memperjelas wewenang Badko yang hingga sekarang masih tumpul ditubuh HMI, inilah salah satu faktor ketidak tertarikan kader berproses di Badko, Badko bisa dibilang tidak jelas keberadaanya di HMI bahkan tidak didengarkan intruksinya oleh cabang.

    Bila kita hanya berkutat pada persoalan perbaikan proses verifikasi cabang-cabang untuk mengikuti kongres, pertama pertanyaannya sejauh mana keberadan PB HMI melalui Badko hubunganya terasa oleh cabang? Jawabnya seperti hal di atas Badko tak jelas wewenangnya, lalu berharap intruksi PB HMI di ikuti cabang-cabang?

    Kedua memperketat persyaratan calon dengan menambah jumlah rekomendasi cabang-cabang, bukan kah hal ini akan memberi ruang yang lebar akan terjadinya jual beli rekomendasi?

    Ketiga, menambahkan kriteria pencalonan? Bila terjadi pemilihan melalui Badko-Badko maka semua kader HMI akan berbondong-bondong mengambil posisi di Badko masing-masing cabang yang tentunya persyaratan untuk menjadi pengurus akan lebih ketat misalnya harus, LK2-LK3 pernah jadi pengurus cabang dan akhirnya bila itu semua proses terjadi calon-calon yang ingin berkompetisi menjadi ketua umum PB HMI betul-betul bersaing

    Namun, Badko sekarang juga harus berbenah layakkah sudah menjadi contoh yang baik untuk cabang, mari saatnya kita berbenah menuju masa kejayaan HMI sebagai organisasi anak kandung Indonesia menuju cita-cita HMI. (*)

    Oleh : Maulana Kawit (Sekretaris HMI Cabang Palangka Raya, Badko Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah)