Azan dan Jilbab, Prespektif Maqasid As Syariah

    Oleh: Muhammad Said*

    Kegaduhan sosial dipicu dugaan penistaan syariat Islam berupa adzan dan jilbab yang dianggap tidak lebih mulia dari suara kidung dan memakai konde memantik reaksi keras yang berujung pada laporan kepada pihak berwajib (polisi).

    Jilbab sebagai personifikasi identitas muslimah yang telah diatur dalam syariat Islam memang menjadi bagian inherent dan Instrumental bagi Muslimah.

    Adzan sebagai Instrument agama pun dalam pandangan syariat memiliki tujuan yaitu untuk mengingatkan Muslim agar tidak lalai dari kewajiban sholat, dzikir kepada Tuhan dan bersegera menghubungkan iman dalam dadanya dengan sang Khaliqnya.

    Ketika hal-hal prinsipil ini dijadikan objek perbandingan dengan aspek kultur lain yang semata bertumpu pada aspek profanitas, maka hal tersebut menjadi causa prima munculnya emosionalitas beragama di kalangan umat Islam.

    Walaupun, emosionalitas atas nama agama sekalipun belum tentu selaras dengan maksud syariah. Artinya, mereka yang diduga menista syariah Islam bisa didekati dengan cara lain sebagaimana seruan Islam, mengajak kepada kebajikan dengan pendekatan bil hikmah.

    Sebab merespons penistaan dengan penistaan misalnya secara logika seperti metafora “menggigit yang gigit” artinya membalas kejahatan dengan kejahatan.

    Namun, dalam kontek hukum yang berlaku di negara Indonesia yang masyarakat muslimnya menjadi kelompok arus utama, hal demikian menjadi precedent tidak baik baik membiarkan pelanggaran konstitusi tanpa proses hukum.

    Alasan ini menjadi sangat prinsipil lantaran keadilan hukum menjadi salah satu syarat pilar tegaknya harmonisasi sosial dan politik dalam sebuah negara demokrasi.

    Selain itu, ornamen Agama bagi pemeluknya meminjam istilah, Peter L Berger, diyakini sebaga the sacred canophy (langit suci) yang
    mampu mengikat identitas kolektif dan emosionalitas transendental pemeluknya.

    Tatkala agama digunakan pihak lain sebagai Instrument untuk tujuan dan motif yang tidak benar, maka tuntutan pemeluk agama yang merasa dirugikan harus dipenuhi oleh negara sebagai personifikasi supremasi kekuasaan tertinggi di Indonesia.

    Alasannya tidak saja merujuk pada urgensi eksistensi negara untuk mengeliminasi hal-hal yang bisa memunculkan social disequilibrium dan social disorder, menegakkan amanah konstitusi dan menerapkan prinsi equality before the law, tetapi juga menjaga Marwah Pemerintah sebagai regulator di negara hukum.

    Maqasid Asy syariah dalam adzan dan jilbab

    Secara mazaji, syariat biasa dimaknai sebagai jalan menuju sumber mata air.Tnetu secara hakiki sumber mata air itu adalah the canda prima, The Creator of The universe, yaitu Tuhan semesta alama. Artinya, syariat itu seperangkat aturan main, ketentuan-ketentuan yang termaktub Tuhan yang termaktub dalam dua ajaran primer dalam Islam yaitu al Qur’an dan Sunnah.

    Sebagai ketetapan Tuhan yang menyangkut hajat hidup manusia, maka syariat tidak bisa dipahami secara simpel dan dibanding secara parokial dengan aturan main yang dibuat manusia yang penuh dengan muatan kepentingan baik atas nama ideologi, aliran politik, kultur maupun hukum-hukum muspra yang merupakan hasil dari produk thinking manusia yang terbatas pada teks, konteks yang kemudian mengalami shifting paradigma (pergeseran paradigma).

    Syariah mengandung muatan kebutuhan atas nama kepentingan dan keselamatan Mansuia yang tidak terbatas oleh dimensi waktu dan tempat; mencakup aspek profanitas dan aspek transendental secara bersamaan; tidak saja melulu persoalan ibadah, tetapi juga menyangkut aspek yang lebih luas (all sepheres of life), termasuk tata pergaulan manusia laki-laki dan perempuan, tua muda, dan dan tata cara berpakaian (dress code).

    Bagi seorang Muslim, Syariat memiliki seperangkat tujuan untuk kepentingan dan kemaslahatan hidup mereka juga kedamaian mereka dengan lingkungan di mana mereka berada, kedamaian dengan diri mereka sendiri, kedamaian hubungan dengan orang lain dan kedamaian dengan makhluk lain ciptaan Tuhan.

    Secara umum tujuan syariah meliputi tiga tingkatan kebutuhan manusia mulai dari yang bersifat pokok (hajat al dharuriyat atau primary needs), kebutuhan sekunder (hajat al hajiyyat atau secondary needs) sampai kebutuhan pelengkap (hajat al tahsinyat atau tersier needs).

    Dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar, syariat Islam bertujuan untuk melindungi lima aspek prinsipil dalam kehidupan manusia yaitu menjaga agama (li hifdz al dien), menjaga jiwa (li hifdz al nafs), menjaga akal (li hifdz al aql) dan menjaga harta (li hifdz al maal) dan menjaga keturunan (li hifdz al nasb).

    Menempatkan suara kidung lebih baik dari suara azan, dan konde lebih baik dari cadar jelas menimbulkan reaksi keras karena menyangkut aspek prinsipil yang masuk dalam kategori hajat al dharuriyat, yaitu li hifdz al dien dan li hifdz al nafs (untuk melindungi agama dan melindungi jiwa (li hifdz al nafs).

    Adzan sebagai objek stigma adalah seruan kepada Muslim agar mereka segera menunaikan kewajiban agama yang telah ditetapkan Allah melalui syariatNya. Serua adzan memiliki tujuan mulia mengingatkan mukmin kepada keselamatan hidupnya di dunia dan di akhirat.

    Oleh karena kehidupan manusia meliputi fase kekinian dan fase lain sesudah di sini (dunia), maka syariat Islam mengatur bagaimana seorang Muslim mengelola kehidupan hari ini untuk kepentingan keselamatan dirinya dalam jangka pendek (short-term) dan jangka panjang secara simultan, yaitu ketenangan, kedamaian, kebahagiaan dan keselamatan di dunia, di alam kubur dan di akhirat kelak.

    Aspek profan dan transendental demikian tidak dapat dipenuhi oleh Science dan technology secanggih apapun sebagaimana halnya ketakutan manusia terhadap kematian. Atas dasar itu, syariah memiliki raison de etre dalam mengatur kehidupan untuk tujuan keselamatan dimaksud.

    Penggunaan jilbab sebagai anjuran agama yang telah ditetapkan dalam syariat Islam pun memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk pencapaian ketenangan, kedamaian dan keselamatan seorang Muslimah. Dengan memakai jilbab, seorang Muslimah tidak saja memenuhi tuntutan syariat tetapi juga menjadi upaya perlindungan diri dari ketidaknyamanan secara moral-etik, tetapi juga secara sosial -biologis melindungi diri dari upaya exploitasi sexual, menjadi objek perhatian banyak orang yang berujung pada petaka pelecehan seksual (sexual harrasment) dan pemerkosaan yang menyebabkan korban kehilangan harga dan martabat diri.

    Penggunaan jilbab selain sebagai seruan menuju kemenangan diri, juga menjadi Instrument wanita muslimah untuk penegakan akhlak yang terpuji (akhlak mahmudah). Dengan demikian ia tidak saja menjaga jiwa, dan kehormatan dirinya dari hal-hal yang menjadi sumber malapetaka (mafsadat), tetapi juga telah berjihad sesuai syariat agamanya sesuai maqasid as syariah agar hidupnya menjadi tenang dan damai sebagaimana esensi agama (tidak kacau) Islam (damai, tenang dan selamat).

    *Penulis adalah Ketua Program Doktor Perbankan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis dan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
    E-mail: muhammad@uinjkt.ac.id Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta). Email:muhammad@uinjkt.ac.id