Nilai Tukar Tembus Rp14 ribu per Dolar AS , Pemerintah Dikritik Waket DPR Fadli Zon

    JAKARTA – Melemahnya nilai tukar rupiah hingga menembus angka Rp14.000 per dollar Amerika Serikat pada awal pekan ini membuat Dr Fadli Zon, M.Sc, Wakil Ketua DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra mengkritik pedas pemerintahan sekarang.

    “Pemerintah telah gagal dalam menjaga stabilitas rupiah,” katanya di Gedung DPR, Rabu (9/4).

    Menurutnya, Indonesia saat ini sebenarnya sudah berada di tahap awal krisis.

    “Nilai tukar memiliki efek domino yang sangat besar dalam struktur perekonomian kita. Dalam periode Februari hingga Maret 2018 saja, misalnya, kita sudah menghabiskan sekitar US$2 miliar devisa untuk menyelamatkan rupiah. Itupun ternyata tak sanggup mencegah rupiah jatuh ke angka Rp.14.000 per dollar,” ujarnya.

    “Dalam catatan saya, selama periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, mulai dari kuartal empat 2014 hingga kini, rupiah sudah terdepresiasi sebesar 13 persen. Kemungkinan kita akan terus mengalami tren penurunan. Kondisi ini jauh sekali dari apa yang dulu pernah dijanjikan pada 2014. Sebagai catatan, nilai tukar rupiah saat ini 38 persen lebih rendah dari janji kampanye dulu. Ini menunjukkan perhitungan pemerintahan sekarang jauh dari realistis. Dan pemerintah gagal menjaga rupiah kita,” ujarnya.

    Itu sebabnya pemerintah harus bersikap transparan mengenai risiko yang tengah kita hadapi. Sikap itu diperlukan agar kita bisa mengambil langkah tepat mengantisipasi terjadinya krisis ekonomi yang lebih dalam, sambungnya.

    Jangan berdalih indikator makroekonomi kita cukup baik dengan modal argumen bahwa indikator perekonomian negara-negara lain saat ini jauh lebih buruk dari kita. Ini bukan soal apakah kondisi kita lebih baik atau lebih buruk dibanding negara lain, tapi soal apakah pemerintah telah mengantisipasi terjadinya krisis atau tidak? Jika kondisi negara lain lebih buruk, bukan berarti kita baik-baik saja, jelasnya.

    “Risiko di depan mata yang kita hadapi, misalnya, terkait dengan utang, karena sekitar 41 persen utang kita ada dalam denominasi mata uang asing. Artinya, perubahan kurs rupiah atas mata uang bersangkutan akan mempengaruhi posisi utang kita secara keseluruhan,” katanya.

    Menurut data Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 31 Desember 2017 lalu, dari total utang sebesar Rp3.938,45 triliun, utang dalam denominasi rupiah adalah sebesar 59%, dollar Amerika 29%, Yen Jepang 6%, Euro 4%, SDR IMF 1%, dan lainnya sebesar 1%. Jadi, utang kita yang berdenominasi valuta asing sebear 41%, baik dalam bentuk pinjaman, SBN (Surat Berharga Negara), maupun SBN Syariah.

    “Turunnya nilai tukar rupiah jelas akan berpengaruh terhadap beban pembayaran utang, baik bunga utang maupun cicilan jatuh tempo. Ujungnya, APBN kita akan semakin terbebani pembayaran utang,” ujarnya.

    (jan/Beritasampit.co.id)

    EDITOR : MAULANA KAWIT