SENGKARUT HAK KEUANGAN DPRD  KALTENG

    Oleh : H. Joni

    SAAT terakhir ini, hubungan antara Gubernur Kalteng dengan DPRD sedang tidak harmonis. Dari ketidakharmonisan itu memang bisa membawa akibat kepada berputarnya roda pemerintahan dan pembangunan di Kalteng.

    Namun kita semua berharap ending dari sengkarut ini segera berakhir dengan manis. Tak ada kalah menang, dan tidak ada yang merasa tersakiti.

    Bermula diterbitkannya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 33 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.

    Terbitnya Pergub fimaksud ternyata membuat kaget sejumlah Anggota DPRD Kalteng. Mereka berencanya menggulirkan hak interpelasi manakala Pergub itu tidak ditinjau kembali.

    Masalah Substansi
    Substansi dari Pergub itu (selanjutnya disebut Pergub 18) secara sederhana ada dua.

    Pertama keharusan mengembalikan dana yang sudah dipakai oleh para anggota DPRD, karena nominal yang ada di dalam Pergub 18 itu berkurang dari Pergub sebelumnya.

    Kedua, Pergub itu berlaku surut yaitu mulai Januari 2018, berarti mundur sekitar lima bulan dari diterbitkannya Pergub 18 yang dinilai bermasalah oleh kalangan DPRD Kalteng.

    Dalam kaitan secara administratif ada dua permasalahan.
    Pertama tentang kewenangan Gubernur membuat Pergub. Kedua adalah tentang peraturan yang berlaku surut.

    Kedua masalah inilah yang kiranya secara obyektif menjadi penengah guna mengakhiri sengkarut atas terbitnya Pergub 18 yang dinilai “menyakitkan” itu.

    Dalam hal kewenangan Gubernur, sebagaimana penegasan dari Gubernur sendiri bahwa terbitnya Pergub itu didasarkan dan sebagai tindak lanjut dari Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 188.31/7809/SJ tertanggal 2 november 2018 yang ditujukan kepada seluruh ketua DPRD se Indonesia, sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 2017 Tentang Pelaksanmaan Hak Keuangan Dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.

    Dengan demikian dari sisi ini justru menjadi kewajiban Gubernur untiuk menjabarkan dan atau menindaklanjuti PP dimaksud. Bahkan menjadi sebuah kekeliruan jika PP dfimaksud tidak ditindaklanjuti.

    Hal ini didukung oleh hirarkhi peraturan perundangan yang berlaku saat ini, bahwa peraturan perundangan yang dibawah harus smengacu kepada peraturan yang ada di atasnya.

    Maka Pergub 18 itu sudah tepat sebagai penjabaran dari Peraturan Pemerintah dan menindaklanjuti Surat Mendagri. Dicermati dari sisi ini maka apa yang diterbitkan Gubernur Kalteng sudah sesuai.

    Berikutnya tentang kewenangan terhadap pengaturan hak keuangan DPRD memang menjadi kewenangan eksekutif dalam hal ini adalah Gubernur. Dalam kaitan ini, tidak ada klausula dalam peraturan perundangan yang mengharuskan bersama sama dengan DPRD.

    Artinya kewenangan membuat Pergub itu sepenuhnya tergantung dan menjadi kewenangan Gubernur. Terkait dengan peraturan yang berlaku surut, maka Pergub 18 itu harus dipandang sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah.

    Oleh karena Peraturan Pemerintah berlaku sejak Januari, maka hal itu menjadi satu kesatuan. Dengan demikian justru jika Pergub tersebut memberlakukan mulai bulan Mei, menjadi sebuah penyimpangan dari yang menjadi acuan peraturan di atasnya.

    Oleh karena itu dari sisi pemberlakuan, bukan berarti berlaku surut akan tetapi sesuai dengan konsideran hal itu menjadi satu keharusan, tanggal berlakunya menyesuaikan diri dengan peraturan yang ada di atasnya.

    Oleh karena itu secara administratif mengembalikan uang kelebihan yang sudah diterima merupakan satu keharusan.

    Tidak saja dalam kapasitas sebagai wakil rakyat, tetapi juga dalam kapasitas ketaatan terhadap hukum, dalam kaitan ini adalah Peraturan Pemerintah beserta aturan pelaksanaan dibawahnya.

    Aturan Tentang APBD
    Permasalahan yang berhubungan dengan item dan jumlah nominal atau jumlah rupiah, kiranya penting dicermati. Apakah sesuai dengan muatan yang terkandung dalam PP dimaksud.

    Ini adalah hal yang bisa disebut peka. Namun demikian atas dasar itikad baik kiranya tidak mungkin Gubernur Kalteng akan memotong atau mengurangi hak anggota dan Pimpinan DPRD. Kiranya tidak ada kepentingan untuk itu.

    Dalam kaitan dengan ancaman tidak akan membahas APBD (perubahan) dan APBD Tahun 2019, kiranya dikembalikkan saja kepada peraturan perundangan yang didasarkan pada pola APBN, bahwa jika APBD tidak disetujui maka dipakai APBD tahun lalu.

    Artinya masalahnya dibuat simple atau sederhana saja, karena memang aturan normatifnya menyatakan demikian, maka hal itulah yang harus diterapkan sesuai dengan aturan yang ada.

    Bahwa dengan penerapan aturan itu para anggota dewan “mengancam”, atau mewacanakan akan digulirkannya hak interpelasi. Tentu hal ini merupakan bagian dari friksi yang terjadi antara Gubernur pada satu sisi dengan DPRD pada sisi lain.

    Dalam kaitan ini, hak interpelasi merupakan hak Lembaga sepenuhnya dari anggota DPRD. Tidak ada pihak di luar yang bisa mencegah atau mendorong untuk melanjutkan dari keinginan atau wacana dimaksud.

    Oleh sebab itu sangat wajar jika Gubernur juga mempersilakan untuk mengakomodasikan hak tersebut. Sepanjang Gubernur masih berpegang pda koridor perturan perundangan tentunya tidak jadi masalah.

    Toh itu memang hak yang bisa diwujudkan kapan saja. Anggota DPRD tahu dasar hukum dan pertimbangan apakah hak itu akan difungsikan atau tidak.

    Maknanya bagi gubernur bahwa Guernur tidak harus merasa terdegradasi kualitas dan kinerjanya sebagai Pemimpin provinsi, sebagai akibat dari hak interpelasi yang masih diwacanakan tersebut.

    Toh hak interpelasi dapat diwjudkan jika memenuhi persyaratan tertentu yang tidak sederhana. Pada akhirnya, secara personal, gubernur Kalteng Sugianto Sabran yang ketika dalam Pilkada lalu berposisi sebagai “kuda hitam”, tentu tidak mempunyai beban psikologis dengan ini semua.

    Pastinya, klarifikasi sudah dilakukan, dan kalaupun nanti Gubernur bertahan pada Pergub 18 yang dibuat dan kelanjutanya diterapkan, tidak akan mengurangi kewibawaan dan otoritasnya sebagai Gubernur.

    Justru dari DPRD yang bisa terdegradasi wibawanya di kalangan rakyat Kalteng, karena nyata nyata pengaturan itu didasarkan atas peraturan di atasnya namun tak mau memenuhinya.

    Harusnya pihak DPRD fokus kepada kedudukannya dalam menyerap dan menindaklanjuti aspirasi rakyat Kalteng. Harusnya DPRD focus kepada fungsinya untuk berkreasi membuat Perda, membahas anggran dan pengawasan.

    Harusnya DPRD mematuhi aturan yang telah diterbitkan, sebagai bentuk ketaatan hukum dan sebagai contoh rakyat dan refleksi dari hubungan harmonis dengan Gubernur untuk memajukan Kalteng.***(Penulis adalah Notaris, Doktor Kehutanan Unmul Samarinda berdomisili di Sampit)