Perjuangan BI Pecahkan Level ‘Mitos’ Rp 14.000/US$

    JAKATTA -Tekanan berat dan bertubi-tubi membuat kurs rupiah di September 2018 sempat menyentuh Rp 15.250/US$. Gejolak ekonomi global menjadi biang kerok rupiah terus terombang-ambing.

    Krisis keuangan di Argentina dan Turki memicu seluruh mata uang Emerging Market terjungkal. Ketika kurs rupiah menembus Rp 15.000/US$ di mana banyak pihak melihatnya sebagai level psikologis menimbulkan banyak rasa pesimisme, kegetiran, dan ketakutan.

    Takut Indonesia masuk lagi ke jurang krisis!

    Trauma krisis menyeruak karena banyak pihak yang membandingkan dengan kondisi Indonesia di tahun 1997/1998.

    Berdasarkan catatan CNBC Indonesia, di bulan September 2018 pemberitaan hampir setiap hari Bank Indonesia (BI)berjuang habis-habisan intervensi, yang diduga untuk membendung agar kurs tidak tembus 15.000.

    Meski sempat tertembus, berkat konsistensi BI yang berada di pasar, akhirnya Rupiah kembali bisa ditarik turun ke Rp 14.900/US$.

    Bukan hal yang mudah bagi BI untuk terus menggiring Rupiah kembali turun dari Rp 14.900/US$. Sejak September 2018 tensi perang dagang AS-China semakin memanas, ekonomi AS semakin berotot sehingga membuat bank sentral AS The Fed beringas (hawkish) untuk menaikkan suku bunga, dan pemerintah Inggris terus terganjal untuk memuluskan Inggris bercerai dari Uni Eropa.

    Bahkan di Desember 2018 mata uang negara berkembang ini mendapat tekanan besar dipicu memanasnya drama politik antara gedung putih dan partai demokrat terkait pemangunan tembok pembatas AS-Meksiko dan terhentinya layanan publik (government shutdown).

    Foto: Nanang Hendarsah (Dok Bank Indonesia)

    Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia mengatakan dengan tekanan global yang tiada henti, membuat bank sentral semakin berkreasi.

    “Selain tetap bertahan dengan kebijakan moneter yang tegas (hawkish) dan tetap berada di pasar untuk mengawal rupiah, di bulan September 2918 kami mulai mengaktifkan lelang Forex Swap secara teratur tiga kali seminggu untuk menekan premi swap (biaya lindung nilai) rendah,” ungkap Nanang kepada CNBC Indonesia, Sabtu (2/2/2019).

    “Di awal Oktober 2018, kami menggandeng 13 bank untuk menginisiasi transaksi DNDF (Domestik Non Deliverable Forward) untuk menyediakan alternatif instrument lindung nilai sekaligus mematahkan pengaruh buruk kurs NDF luar negeri yang seringg menekan kurs spot di dalam negeri.”

    Meski dengan bauran instrument moneter yang lengkap dan cukup efektif, Nanang menambahkan dan disertai dengan munculnya kembali arus masuk modal asing, tapi menjaga kurs agar tidak kembali tertekan ke Rp 15.000/US$ bukan perkara yang mudah.

    Setiap kurs mendekati level-level kritis dari Rp 14.900/US$ sampai dengan Rp 14.100/US$ selalu muncul tekanan pembelian dari korporasi domestik, karena memang banyak yang membutuhkan devisa untuk impor.

    Demikian pula, kurs rupiah sampai empat kali gagal menembus Rp 14.000/US$, karena selalu terkoreksi (bouncing) dipicu besarnya pembelian valas di sekitar Rp 14.000/US$.

    “Dengan jalinan komunikasi yang sangat kuat antara BI dan perbankan, disertai dengan penguatan strategi taktikal di operasi moneter, kita bersyukur rupiah bisa tembus di bawah Rp 14.000/US$. Komunikasi dua arah yang transparan dan jelas (clarity) dengan pasar menjadi penting karena BI akan lebih memahami prilaku dan struktur mikro pasar, sebaliknya pasar akan memahami visi BI sebagai penjaga stabilitas Rupiah,” tegas Nanang.

    Sumber: cnbcindonesia.com