HIJRAH TRANSFORMATIF MEMBANGUN MODERASI BERAGAMA

MUHAMMAD SAID*

KEKHAWATIRAN paling puncak yang mengancam stabilitas kemanusiaan dan pembangunan akhir-akhir adalah munculnya gerakan radikalisme atas nama agama dalam berbagai bentuk dan varian baik di tingkat nasional maupun global. Pada sisi lain, kekerasan atas nama agama bisa disaksikan di beberapa wilayah ASEAN seperti di Myanmar, Thailand dan beberapa wilayah lain.

Kekerasan atas nama agama hingga kini masih menyisakan kepiluan kemanusiaan masyarakat dunia. Kekhawatiran dan kecemasan akibat meluasnya gerakan radikalisme atas nama agama benar-benar telah melahirkan sisi paradoksal, merusak citra agama sebagai sumber kedaiaman dan mata air ketenangan jiwa bagi pemeluknya.

Agama sebagai sebuah sistem profetik yang menjauhkan pemeluknya dari hal-hal mengacaukan kehidupan (tidak kacau) menjadi kehilangan elan vitalnya dalam mencapai misi suci. Agama tentu tidak bisa disalahkan sebab sebagai sebuah sistem yang original dari Tuhan, agama menjadi bersalah-salahan karena perbedaan persepsi dan perspektif pemeluknya dalam memahami dan memaiknai ajaran agama..

Radikalisasi agama sebagai impact dari penafsiran pemeluknya dengan cepat menjalar, menafikan dan menegasikan ke-yang lain-an (otherness) disertai dengan kekerasan seolah ingin menafikan realitas multikultural dalam satu wilayah dan menandai ketidaksiapan komunitas dalam menerima hukum sosial dan agama bahwa keanekaragaman, multi-religius adalah kehendak Tuhan yang tidak bisa ditepikan oleh siapapun, termasuk para tokoh agama. Rahasia Tuhan di balik ke-anekaragam-an pemeluk agama adalah untuk mengetahui siapa sehungguhnya di antara para kounitas beragama itu yang terbaik di antara mereka. Terbaik dalam konteks beragama ukurannya sangat sederhana dan rasional, yaitu ketika seorang pemeluk agama bisa hidup dengan merdeka.

Merdeka dalam konteks agama mengandung makna terbebas dari belenggu yang menjajah yang berasal dari dalam diri manusia. Belenggu yang menjajah umat beragama hari ini bukan lah musuh dari kelompok lain, melainkan manusia dijajah oleh cara pandangnya sendiri, dijajah oleh mentalitas yang didasar ego-sentrik dari dalam hati.

Membebaskan pemeluk agama dari penjajahan haruslah dengan mengetahui sang penjajah. Pembebasan diri dari sang penjajah harus berdasarkan bimbingan dan pertolongan serta berkat rahmat Tuhan yang Maha Esa. Artinya, seorang pemeluk agama tidak dapat membeaskan dirinya dari belenggu penjejahan internal tanpa intervensi Tuhan. Karena itulah, kita dapat mengerti dan memahami jika dalam konstitusi negara Indonesia dinyatakan bahwa penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Dan, atas berkat Rahmat Allah dengan didorong keinginan luhur agar hidup dengan merdeka, maka manusia harus meminta membelenggu sifat tercela dengan meminta pertolongan Tuhan.

Ujian terbesar kita hari ini adalah ketidakmampuan dan gagal paham kita terhadap makna kemerdekaan sesungguhnya. Kita bisa menyaksikan hari ini demo yang disertai orasi eksplisit untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia tanpa syarat apapun juga. Separatisme benar-benar di ambang pintu yang siap mencabik persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia. Tuntutan melakukan referendum pun menjadi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan (AGHT) keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.

Menekan AGHT merupakan kewajiban seksama anak bangsa yang mendiami zona wilayah negara kesatuan republik Indonesia, yang dibangun di atas landasan konstitusional dan ideologi Pancasila yang meliputi ketuhannan yang Maha Esa. Sila pertama ini menunjukkan adanya afinitas yang kuat antara agama dan Pancasila. Agama dan Pancasila itu selaras, sama-sama tidak dapat ditinggalkan. Agama menangani hal-hal yang bersifat bathin sedangkan Pancasila menangani hal-hal yang bersifat dzahir. Dzahir atau fisik itu menuntut kita loyal dan bekerja berdasar azas Pancasila dan UUD 1945. Agama yang mengurusi bathin menuntut setiap pemeluk agama mentaati undang-undang agamanya. Karena itu, Pancasila dan Agama tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.

Agama –apapun namanya– sebagai canopy suci (the sacred canophy) mustahil mengajarkan kekerasan dan radikalisme. Walaupun memang secara teologis banyak ayat yang potensial ditafsirkan untuk melegitimasi dan menjustifikasi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pemeluk agama. Sebagai pegangan hidup bagi pemeluknya, agama berfungsi menjadi pegangan hidup bagi pemeluknya, memberikan kelegaan emosional dan membantu mendapatkan makna dari seluruh hidupnya serta menjawab persoalan mengapa hal-hal yang tidak menguntungkan itu terjadi.

Apabila agama digunakan untuk kepentingan ideologis, maka agama menjadi kehilangan ultimate meaning-nya dalam memberikan sumbangan untuk meretas situasi-situasi ketegangan emosional, pembuka jalan melepaskan diri dari dari situasi dan impress yang dihadapi.

Karena agama mengurusi hal-hal yang bersifat bathin, maka bathin menjadi perkara penting yang harus dituntaskan terlebih dahulu. Apabila bathin anak bangsa ini telah baik dan kokoh menurut ajaran agamanya masing-masing, maka Undang-Undang sangat penting menjadi pasak yang abadi atau pusaka abadi, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung; di mana sumur digali, di situ air disauk, masuk kampung yang satu turut adat istidat kampung tersebut. Apabila batin anak bangsa diurus menurut peraturan agama oleh Tuhan yang Maha Esa, maka “Kemanusiaan yang adil dan beradab dapat ditegakkan dan diwujudkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dampak strukturasi dari terwujudnya keadilan dan keadaban melahirkan “Persatuan Indonesia” sebagaimana sila ke 3 dari Pancasila dan sila-sila yang lain.

Membangun kesepahaman akan pentingnya keseimbangan (moderasi) beragama berdampak pada moderasi kehidupan anak bangsa dalam menata dan mengelola diri berkontribusi terhadap pembangunan bangsa dan negara. Inilah hakekat dan makna penting dari hijrah transformatif, sebuah hijrah yang melibatkan kekuatan dzahir dan bathin anak bangsa dalam bentransformasi menghindari radikalisasi dan membangun moderasi sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

*Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Direktur Lembaga Pengembangan Ekonomi & Techno-Preneuership Syariah (LPETS) Ganesha Jakarta