Jejak Kukuh Kristianto, Guru dan Bapak di GMKI Surabaya

Oleh: Ghorby Sugianto

Jean-Paul Sartre pernah melantunkan bahwa manusia tidak pernah seorang individu. Mungkin lebih pasnya menganggap universal singular. Ungkapan tersebut saya (Ghorby Sugianto. Ketua Cabang GMKI Surabaya 2017-2018) pahami setelah ‘’mengguru’’ kepada Kukuh Kristianto seorang Aktivis Demisioner GMKI Surabaya era 98.

Kukuh Kristianto seorang guru yang demokratis menerima semua bentuk aliran pemikiran. Dari yang kiri mentok sampai raksasa kapitalis. Fleksibel tak kaku, acapkali gaya joke segarnya memecah ketegangan diskusi-diskusi yang alot.

Peristiwa demi peristiwa yang sekarang barangkali menjadi bongkahan sejarah masih melekat pada ingatan saya. Seorang guru telah mendahului pulang ke rumah abadinya. Dalam tulisan singkat ini saya mencoba menuliskan apa yang pernah (red.Kukuh Kristianto) bagikan kepada saya melalui tindakan, wejangan sampai kepedulian beliau.

Pagi (13/05/2018) telepon saya bordering. ‘’cab, merah kondisi merah, segera kumpulkan seluruh elemen GMKI Surabaya. Gereja-gereja di bom di Surabaya’’ teriak Kukuh. Sontak saya bergelinjang bangkit. Langsung saya berkordinasi kepada Badan Pengurus Cabang GMKI Surabaya.

Kami mengadakan rapat darurat, Senior GMKI dan berbagai elemen masyarakat kami undang di Tegal Sari 62, Surabaya untuk duduk membahas serangan bom teroris tersebut.

Kukuh menepuk pundak saya, ‘’Cab, kamu sekarang pegang tongkat komando, kamu harus percaya diri dan berani’’ tuturnya kepada saya. Karena waktu kejadian tersebut mungkin beliau melihat saya gugup dan kurang percaya diri.

Betul saja, suasana bercampur aduk, ketegangan menyelimuti Surabaya. Kondisi memerah, para umat Kristen dan sebagian masyrakat mengalami ketakutan dan traumatik.

Tidak disadari, tepukan Kukuh Kristianto menguatkan saya dalam merespon kejadian bom di Surabaya silam. Kawan-kawan GMKI bersatu padu bersama elemen masyarakat dan gereja untuk menggelar aksi ditaman Apsari Surabaya bertujuan menggemakan bahwa kami ‘’Wani’’ (tidak takut).

Tidak dipungkiri bahwa Kukuh Kristianto seorang guru bagi saya, meskipun kami sering berdialektika dan ada kalanya saya tidak setuju kepada argumentasi dan pemikiran beliau. Namun disinilah letak kedewasaan berdemokrasi mantan Aktivis 98 ini. Ia tetap bersandau gurau sesambi memberikan alternatif pemikiran lainnya.

Kukuh Kristiato bagi saya seperti Tjokro Aminoto, guru besar bangsa yang tersembunyi dan abu-abu.

Karena keabu-abuan beliau ini saya suka meguru kepadanya. Meskipun rumahnya jauh saya pun tetap datang kerumahnya. Acapkali beliau sepulang kerja mampir ngopi di Tegal Sari 62, markas GMKI Surabaya.

Suatu kali pada momen sebelum Konfrensi Cabang saya datang ke Rumahnya untuk menanyakan masukan-masukan pemikiran beliau. Tentu saja saya diterima dengan ramah. Kopi white coffee dihidangkan dengan letusan senyumnya.

Waktu saya berkonsultasi, ia menempatkan diri sebagai bapak. Bukan seorang guru yang menggurui. Ia membimbing saya dan membeberkan pendapat-pendapatnya. Meskipun diskusi kami cukup alot tak terasa juga sampai larut. Ia juga memberikan uang dua puluh ribu kepada saya sebagai ganti bensin, karena beliau tau, saya nekat ke rumahnya meskipun tidak cukup uang walau sekedar beli bensin.

Saya pun pulang dengan rasa lega dan bangga punya Senior seperti beliau, karena di tengah kekurangannya ia masih mau berbagi kepada adik-adiknya yang kesusahan. Meskipun tidak selalu materi yang ia beri, ide gagasan dan jaringan ia juga sering berbagi.

Setelah beberapa bulan saya menyepi di Kalimantan Timur, tiba-tiba Kukuh Kristianto menelpon saya kembali. Beliau mengira saya ada di Jakarta dan berniat mengajak ketemuan. Tentu saja saya tidak bisa karena berada di Kalimantan Timur.

Dalam percakapan kami di telepon, ia menanyakan kabar saya. Orang satu-satunya dari GMKI yang menanyakan kabar saya setelah saya menghilang begitu saja dari peredaran GMKI Surabaya. Jujur saja saya terharu dan meneteskan air mata karena perhatian beliau yang extra kepada saya ditengah masa kesulitan di tanah rantau. Ia sudah seperti bapak yang merangkap sebagai guru.

Setelah saya berkontemplasi di Kalimantan Timur, saya bergeser ke Kalimantan Tengah untuk mengabdikan diri dan meneruskan perjuangan.

Setelah beberapa hari di pedalaman Kalimantan, saya melihat Whats app grup. tersiar kabar bahwa Kukuh Kristianto telah berpulang ke rumah Bapa (10/01/2020). Tentu sempat bertanya-tanya dalam diriku, karena bang kukuh beberapa waktu masih aktif mengirim pesan kepadaku ucapan selamat natal dan tahun baru dan kami ada janji pertemuan yang belum tertutaskan untu sekedar ngobrol ngopi seperti biasa dirumahnya.

Perasaan tak percaya melanda, namun seorang Kukuh Kristianto sudah abadi dengan sifat Guru dan kebapakannya yang demokratis. Titisan Tjokro Aminoto yang lahir dari Rahim GMKI Surabaya. Selamat jalan guru. (GBY/beritasampit.co.id)