DILEMA PASIEN COVID-19 ANTARA ANCAMAN HUKUM DAN STIGMA MASYARAKAT

Oleh : Sari Hijrianti, SH., MH. (Dosen STIH Kuala Kapuas)

BERDASARKAN Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), Covid-19 telah ditetapkan sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Kedaruratan kesehatan masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara. Dalam hal ini Covid-19 dikategorikan ke dalam penyakit menular. Sering kali terjadi pasien yang tidak mengakui dirinya memiliki kemungkinan terinfeksi Covid-19 menyebabkan tenaga kesehatan saat ini banyak terinfeksi Covid-19, hal ini terjadi karena tenaga kesehatan menjalankan tugasnya seperti penanganan pasien biasa, tanpa perlindungan diri sesuai protokol penanganan pasien Covid-19.

Dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung, di rumah sakit. Kewajiban pasien terdapat dalam pasal 26 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien, yaitu
a. mematuhi peraturan yang berlaku di rumah sakit;
b. menggunakan fasilitas rumah sakit secara bertanggung jawab;
c. menghormati hak pasien lain, pengunjung dan hak tenaga kesehatan serta petugas lainnya yang bekerja di rumah sakit;
d. memberikan informasi yang jujur, lengkap dan akurat sesuai dengan kemampuan dan pengetahuannya tentang masalah kesehatannya;
e. memberikan informasi mengenai kemampuan finansial dan jaminan kesehatan yang dimilikinya;
f. mematuhi rencana terapi yang direkomendasikan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit dan disetujui oleh pasien yang bersangkutan setelah mendapatkan penjelasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
g. menerima segala konsekuensi atas keputusan pribadinya untuk menolak rencana terapi yang direkomendasikan oleh tenaga kesehatan dan/atau tidak mematuhi petunjuk yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk penyembuhan penyakit atau masalah kesehatannya; dan
h. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

BACA JUGA:   Berdiri Tahun 1961 dengan Modal Dasar Rp10 Juta, Bank Kalteng Sekarang Berhasil Menumbuhkan Aset Sampai Rp15,19 Triliun (Bagian 01)

Hal utama yang akan ditanyakan dalam penanganan Covid-19 pada pasien adalah gejala penyakit dan riwayat perjalanan pasien, daerah mana yang pernah pasien singgahi, apakah termasuk dalam zona merah. Ketidakjujuran pasien membahayakan bagi petugas atau tenaga medis yang menanganinya, bukan hanya petugas medis saja tapi masyarakat disekitarnya pun terkena dampak karena menganggap bahwa apa yang pasien derita adalah penyakit biasa. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa Covid-19 dimasukan ke dalam kategori penyakit menular dan hal ini lah yang menjadi salah satu faktor pasien enggan untuk bersikap dan berkata jujur kepada masyarakat dan tenaga kesehatan. Kita tinjau dari Undang-Undang No 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, pada pasal 14 disebutkan. “Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), mengingat pasien berkewajiban untuk memberikan informasi yang jujur dan lengkap tentang masalah kesehatannya, maka bagi pasien yang berbohong tentang informasi seputar kesehatannya dapat dikenai jerat hukum.

Ketidakjujuran pasien pada saat wabah Covid-19 saat ini, beresiko membahayakan dokter, tenaga medis dan fasilitas pelayanam kesehatan secara keseluruhan. Namun dilain sisi hal salah satu hal yang menyebabkan adanya ketidak jujuran pasien adalah Stigma Masyarakat. Stigma berasal dari pikiran seorang individu atau masyarakat yang memercayai bahwa penyakit Covid-19 adalah penyakit sangat berbahaya menyebabkan kematian dan sangat mudah menular satu sama lainnya dan belum ditemukan obatnya. Stigma masyarakat terhadap pasien positif Covid-19 tergambar dalam sikap sinis, perasaan ketakutan yang berlebihan di masyarakat. Stigma dan diskriminasi telah menjadi hukuman sosial oleh masyarakat, antara lain berupa tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang terinfeksi serta keluarga pasien. Tindakan diskriminasi dan stigmatisasi membuat orang enggan untuk melakukan pemeriksaan tes Covid-19, enggan mengetahui hasil tes mereka, dan tidak berusaha untuk memperoleh perawatan yang semestinya serta cenderung menyembunyikan status perjalanan dan penyakitnya walaupun pasien Covid-19 dihadapkan pada aturan hukum dan sanksi hukum yang berlaku sekalipun.

BACA JUGA:   Bukan Hanya Ada  di Cirebon, Musik Obrog-Obrog Pembangun Sahur Ternyata Juga Ada di Kota Kumai, Kotawaringin Barat

Padahal, jika benar-benar dipahami dan dimengerti cara penularanya, sebenarnya penyakit ini dapat dicegah tanpa harus berpikiran negative , apalagi sampai melakukan stigma dan diskriminasi terhadap para pasien positif Covid-19. Pengetahuan tentang Covid-19 sangat memengaruhi sikap seseorang terhadap pasien positif Covid-19. Stigma terhadap pasien positif Covid-19 muncul berkaitan dengan ketidaktahuan seseorang tentang mekanisme penularan Covid-19 dan sikap negatif yang dipengaruhi oleh adanya epidemi Covid-19 yang sangat menakutkan bagi masyarakat. Pemberian informasi lengkap, baik melalui sosialisasi tentang Covid-19 kepada masyarakat berperan penting untuk mengurangi stigma. Seseorang dengan pengetahuan yang baik dan benar terkait Covid-19 diharapkan dapat menurunkan bahkan menghilangkan stigma pada pasien positif Covid-19. Terkait dengan akses media informasi tentang Covid-19, media televisi, koran, radio, majalah, dan internet diharapkan dapat memberikan informasi terkait Covid-19 khususnya tentang tatacara pencegahan dan penularan dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku di masyarakat mengenai pencegahan penularan Covid-19. (*)