MIC Sarankan Desentralisasi Pasar, Ketimbang Mengurangi Jam Operasional

Agus Hermawan

KUALA KAPUAS – Beberapa daerah di Kalimantan Tengah baru saja menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), salah satunya Kabupaten Kapuas. Berbagai aturan diberlakukan, salah satunya pembatasan jam operasional pasar, baik pasar tradisional maupun pasar modern.

Hal inipun disoroti oleh Agus Hermawan Direktur eksekutif Menara Insan Cita, Dia mengungkapkan, dirinya termasuk orang yang tidak setuju dengan pengurangan jam operasional pasar. Semula yang beroperasi dari subuh hingga sore. Menjadi hanya dari pagi sampai siang. Terutama didaerah yang menerapkan PSBB seperti Kapuas dan Palangkaraya.

“Menurut saya hal ini tidak solutif dan menjawab permasalahan. Kalau kita urai ada 2 masalah utama hari ini yang timbul karena COVID-19 dan penyelesaiannya tidak boleh kontra-produktif,”ujarnya, melalui Pers Rilis kepada Beritasampit.co.id, Sabtu 6 Juni 2020.

Agus memaparkan, yang pertama adalah PUBLIC NEED (kebutuhan publik) dan yang kedua PUBLIC HEALTH (kesehatan dan keselamatan publik).

1. PUBLIC NEED

Kita bisa menangkap bahwa upaya yang dilakukan oleh pemerintah hari-hari ini termasuk PEMDA adalah ikhtiar kolektif yang dimaksudkan agar penyebaran COVID-19 melandai dan lambat.

“Tapi pemerintah juga harus peka dalam melihat kebutuhan masyarakat. Bahwa berjualan bagi pedagang adalah keharusan, karena itu adalah sumber penghasilan utama. Nah, pemberlakuan pemangkasan waktu operasi pasar bisa membebani pedagang dan UMKM dalam hal ini,” tuturnya.

BACA JUGA:   Edy Pratowo Salurkan Beras Subsidi untuk Pasar Murah di Kabupaten Kapuas

Lanjut Dia, ditambah lagi bahwa pasokan kebutuhan dapur emak-emak juga harus terpenuhi. Dengan hanya pembatasan jam operasional pasar maka tingkat kepanikan emak-emak juga meningkat. Konsumsi masyarakat juga bisa terganggu, karena waktu supply yang terbatas sementara demand-nya tinggi.

Singkatnya sirkulasi ekonomi jadi terganggu!

2. PUBLIC HEALTH

Kalau kita amati dengan cermat, kira-kira apa yang terjadi dipasar dengan pembatasan waktu operasional. PENUMPUKAN MASSA. Iya, inilah yang terjadi. Masyarakat justru berjubel karena tidak ingin kehabisan barang dan time-out (kehabisan waktu) dengan pembatasan jam operasi tadi.

“Sehingga tujuan agar protocol kesehatan dijalankan semisal; memakai masker dan physical distancing, justru tidak tercapai. Harapan dan fakta dilapangan lagi-lagi saling ber-negasi (berlawanan),” katanya.

Tambah Dia, Seyogyanya kebijakan yang dibuat pemerintah daerah dalam hal ini haruslah saling mempertemukan antara Public Need dan Public Health.

“Untuk itulah kami dari MENARA INSAN CITA menginginkan agar Pemerintah Daerah berkenan mengkaji soal desentralisasi pasar. Jangan berpatokan bahwa pasar yang ada sudah cukup untuk meng-cover kebutuhan masyarakat. Hadirkan pasar-pasar mini ke kelurahan-kelurahan, syukur-syukur bisa sampai ketingkat RT. Meskipun hanya dengan bangunan dan lapak seadanya, ini cukup. Yang penting nafas sirkulasi ekonomi tetap jalan dan longgar. UMKM baru juga akan tumbuh dan terbuka lapangan kerja baru,” tambahnya.

BACA JUGA:   Edy Pratowo Salurkan Beras Subsidi untuk Pasar Murah di Kabupaten Kapuas

Lebih jauh Agus menjelaskan, Selain juga dari sisi kesehatan publik-nya bisa mudah dipantau. Karena pembeli dan penjual berapa pada lokal yang sama. Tidak boleh misal orang kalampangan justru beli sayur ke wilayah menteng. Harus dilokalnya masing-masing.

“Lantas bagaimana dengan pasar utama di tengah kota semisal pasar besar Palangkaraya dan Pasar besar Kuala Kapuas. Jadikan fungsi pasar-pasar utama ini sebagai distributor bagi pasar-pasar kecil yang berdiri. Sehingga tidak ada masyarakat yang kehilangan lapangan pekerjaan. Kita harus menyadari bahwa kajian dari berbagai pakar epidemologi mengatakan bahwa krisis wabah ini mungkin akan berkepanjangan. Sehingga terobosan-terobosan serupa hari ini bukan lagi sebagai opsi tapi memang keharusan,” tutupnya.(fai/beritasampit.co.id)