Catatan Perkembangan Obat Terapi Covid-19 Sepanjang 2021

Pil antivirus COVID-19 eksperimental, molnupiravir, yang sedang dikembangkan oleh Merck & Co Inc dan Ridgeback Biotherapeutics LP terlihat dalam foto tak bertanggal yang dirilis oleh Merck & Co Inc dan diperoleh Reuters pada 26 Oktober 2021. (ANTARA/Merck & Co Inc/handout via Reuters/as)

JAKARTA – Para peneliti hingga kini masih terus melakukan berbagai studi demi menemukan pengobatan untuk Covid-19 yang telah menjadi pandemi lebih dari setahun terakhir.

Pada tahun 2021 tercatat beberapa obat antivirus oral diketahui menawarkan hasil baik dalam uji klinis dan menunjukkan harapan dalam mengurangi risiko rawat inap dan kematian terkait Covid-19 termasuk akibat varian Omicron.

Selain itu, ada juga antibodi yang bisa dimanfaatkan untuk mencegah orang dengan kondisi khusus terkena Covid-19 yang parah hingga berisiko menyebabkan kematian, walau memang semua ini masih memerlukan studi lanjutan.

Berikut daftar obat yang dimaksud seperti dirangkum Antara dari berbagai sumber:

Molnupiravir

Pada November 2021, Merck merilis hasil studi tentang obat antivirus oral untuk mengobati COVID-19. Dibandingkan dengan plasebo, obat antivirus yang disebut molnupiravir itu mengurangi risiko rawat inap dan kematian hingga 30 persen pada orang dengan COVID-19 ringan atau sedang yang berisiko tinggi untuk COVID-19 parah.

Sebuah panel penasehat Badan POM Amerika Serikat (FDA), seperti dikutip dari laman resmi Harvard Medical School, Selasa, merekomendasikan otorisasi penggunaan darurat (EUA) untuk molnupiravir, tetapi FDA belum membuat keputusan terkait penggunaannya.

Hasil studi yang dilakukan pihak Merck didasarkan pada data 1433 peserta studi di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Agar memenuhi syarat untuk penelitian ini, para peserta harus terdiagnosis COVID-19 ringan hingga sedang, sudah mulai mengalami gejala tidak lebih dari lima hari sebelum pendaftaran penelitian, dan memiliki setidaknya satu faktor risiko yang bisa meningkatkan peluang terburuk akibat COVID-19.

Peneliti mengungkapkan, tak satu pun dari peserta dirawat di rumah sakit pada saat mereka mengikuti penelitian. Sekitar setengah dari peserta penelitian memakai obat antivirus molnupiravir yakni empat kapsul dua kali sehari selama lima hari.

Hasil studi memperlihatkan, pasien dengan molnupiravir 30 persen lebih kecil kemungkinannya dirawat di rumah sakit atau meninggal karena COVID-19 dibandingkan mereka yang memakai plasebo.

Selama periode penelitian 29 hari, sebanyak 48 orang dari 709 (6,8 persen) peserta yang memakai molnupiravir dirawat di rumah sakit, dan satu orang dalam kelompok itu meninggal dunia.

Pada kelompok plasebo, sebanyak 68 dari 699 (9,7 persen) peserta dirawat di rumah sakit, termasuk sembilan peserta dalam kelompok itu yang meninggal.

Obat antivirus dikatakan efektif melawan beberapa varian COVID, termasuk varian Delta. Para ilmuwan masih menyelidiki efektivitas molnupiravir terhadap varian Omicron.

Molnupiravir yang dikembangkan Merck dan Ridgeback Biotherapeutics bekerja dengan mengganggu kemampuan virus SARS-CoV-2 bereplikasi.

Paxlovid

Pfizer BioNTech (REUTERS/STEPHANE MAHE)

Hasil studi yang dirilis Pfizer pada Desember 2021 mengkonfirmasi penelitian sebelumnya yang menunjukkan pengobatan antivirus oral menggunakan Paxlovid secara signifikan mengurangi risiko rawat inap dan kematian terkait COVID dibandingkan dengan plasebo.

Berdasarkan temuan ini, pihak perusahaan meminta FDA untuk mengizinkan obat itu digunakan dalam perawatan COVID-19.

Dalam studi fase 2/3 yang dikenal sebagai EPIC-HR yang melibatkan peserta dengan gejala COVID-19, berada pada peningkatan risiko penyakit parah karena usia atau kondisi medis yang mendasarinya, dan tidak dirawat di rumah sakit.

Sebanyak 2246 peserta penelitian menggunakan plasebo atau pengobatan Paxlovid dua kali sehari selama lima hari dan memulai pengobatan dalam waktu lima hari setelah timbulnya gejala.

Pada 28 hari setelah pengobatan, mereka yang menggunakan Paxlovid dalam waktu lima hari dari awal gejala memiliki penurunan risiko keparahan penyakit sebesar 88 persen dibandingkan dengan plasebo.

Paxlovid merupakan terapi antivirus protease inhibitor yang terdiri dari obat yang disebut nirmatrelvir dan obat HIV ritonavir. Nirmatrelvir dikembangkan Pfizer yang mampu mengganggu kemampuan virus corona untuk bereplikasi.

Sementara Ritonavir memperlambat pemecahan nirmatrelvir yang berarti tingkat nirmatrelvir dalam darah lebih tinggi dan antivirus bisa bekerja lebih banyak untuk jangka waktu lebih lama.

Hasil studi laboratorium Pfizer menunjukkan, Paxlovid bahkan efektif melawan varian Omicron. Tetapi peneliti menekankan, obat antivirus bukanlah pengganti untuk mendapatkan vaksinasi. Vaksin COVID-19 tetap lebih penting dan dibutuhkan sebagai bagian dari pertahanan terhadap ancaman virus.

Fluvoxamine

Fluvoxamine (WIkimedia Commons)

​​​​​Sebuah penelitian dalam jurnal Lancet Global Health pada Oktober 2021 memperlihatkan, antidepresan fluvoxamine (Luvox) secara signifikan mengurangi risiko rawat inap pada beberapa pasien COVID-19 dengan risiko serius menjadi parah.

Studi ini melibatkan hampir 1500 orang dewasa di Brasil. Sebagian besar peserta penelitian tidak divaksinasi, memiliki gejala, dan berada pada peningkatan risiko penyakit serius karena masalah kesehatan yang mendasarinya.

Sekitar setengahnya menggunakan plasebo sementara separuh lainnya diminta meminum satu pil fluvoxamine 100 mg sebanyak dua kali sehari selama 10 hari.

Hasilnya, kelompok fluvoxamine secara signifikan lebih kecil kemungkinannya membutuhkan rawat inap di IGD atau rumah sakit dibandingkan kelompok plasebo dengan perbandingan 11 persen dan 16 persen.

Menurut studi, efek samping umum fluvoxamine meliputi sakit kepala, mual, diare, pusing, dan efek samping seksual. Dalam uji coba yang diterbitkan Lancet, puluhan peserta yang diberi fluvoxamine berhenti minum obat karena efek samping dan tidak semua dari mereka meminum obat sesuai resep.

Tetapi dalam kasus ini, kepatuhan pengobatan membuat perbedaan. Mereka yang menggunakan fluvoxamine seperti rekomendasi lebih kecil kemungkinannya meninggal dibandingkan mereka dalam kelompok plasebo.

Fluvoxamine termasuk dalam kelas antidepresan dan disetujui penggunaannya oleh FDA pada tahun 1994 untuk mengobati gangguan obsesif-kompulsif (OCD) dan kecemasan.

Fluvoxamine tampaknya bekerja melawan COVID-19 dengan mengurangi peradangan yang menjadi ciri khas infeksi parah SARS-CoV-2. Obat ini mungkin juga memiliki sifat antivirus.

Walau begitu, penelitian lanjutan masih diperlukan untuk menjawab pertanyaan yang tersisa seperti apakah fluvoxamine akan membantu pasien COVID-19 bergejala yang sudah divaksin, atau mereka yang tidak memiliki faktor risiko penyakit parah?

Selain itu, pertanyaan lainnya yakni apakah orang yang sudah meminum fluvoxamine setiap hari untuk mengobati masalah kesehatan mental juga mendapatkan perlindungan terhadap COVID-19?

Antibodi monoklonal

Tiga perawatan antibodi monoklonal untuk COVID-19 telah mendapatkan otorisasi penggunaan darurat (EUA) dari FDA. Perawatan ini dapat digunakan untuk merawat orang dewasa yang tidak dirawat di rumah sakit dan anak-anak di atas usia 12 tahun dengan gejala ringan hingga sedang dan mereka dengan risiko mengembangkan COVID-19 parah atau dirawat di rumah sakit.

Sasaran perawatan juga termasuk orang di atas usia 65 tahun, orang obesitas, dan mereka yang memiliki kondisi medis kronis tertentu.

Penelitian terbaru menunjukkan, pengobatan antibodi monoklonal juga dapat membantu menyelamatkan nyawa pada subkelompok tertentu pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit.

Antibodi monoklonal adalah versi antibodi buatan manusia yang dibuat secara alami oleh tubuh kita untuk melawan penyerang, seperti virus SARS-CoV-2. Ketiga terapi yang diotorisasi FDA menyerang protein lonjakan virus corona, membuatnya lebih sulit bagi virus untuk menempel dan memasuki sel manusia.

Perawatan antibodi monoklonal yakni menggunakan kombinasi casirivimab dan imdevimab yang disebut REGN-COV dan dibuat Regeneron, lalu kombinasi bamlanivimab dan etesevimab dari Eli Lilly dan sotrovimab dari GlaxoSmithKline.

Perawatan diberikan secara intravena di klinik atau rumah sakit dan saat ini belum diizinkan untuk pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit atau mereka yang menerima terapi oksigen.

Namun, sebuah studi tinjauan pra-peer pada Juni 2021 menunjukkan adanya harapan pengobatan antibodi monoklonal pada pasien COVID-19 di rumah sakit yang tidak meningkatkan respons imun mereka sendiri.

Studi ini membandingkan perawatan antibodi monoklonal Regeneron ditambah perawatan biasa pada orang yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19.

Pada orang yang belum memproduksi antibodi terhadap virus SARS-CoV-2, pengobatan antibodi monoklonal mengurangi kemungkinan kematian sebesar 20 persen.

Antibodi monoklonal tidak akan menguntungkan pada orang dengan sistem kekebalan yang telah menciptakan antibodi sebagai respons terhadap virus.

Antibodi AZD7442

FILE PHOTO: (REUTERS/RACHEL WISNIEWSKI) 

AZD7442 yakni kombinasi tixagevimab (AZD8895) dan cilgavimab (AZD1061) yang diproduksi AstraZeneca untuk pencegahan COVID-19 mempertahankan aktivitas penetralan terhadap varian Omicron SARS-CoV-2 (B.1.1.529), menurut data praklinis terbaru. AZD7442 sendiri berasal dari sel B yang disumbangkan penyintas COVID-19.

Studi yang dilakukan para peneliti Badan POM Amerika Serikat (FDA), Pusat Evaluasi dan Penelitian Biologis Amerika Serikat itu menunjukkan Inhibitory Concentration 50 (IC50) atau ukuran potensi dari suatu antibodi dalam menetralisir, ditemukan sebesar 171 ng/ml dan 277 ng/ml dalam dua tes konfirmasi yang berada dalam kisaran titer penetral pada penyintas COVID-19.

IC50 AZD7442 untuk galur asli SARS-CoV-2 yang sebelumnya disebut galur Wuhan, masing-masing sekitar 1,3 ng/ml dan 1,5 ng/ml.

Antibodi ini telah mendapatkan Emergency Use Authorization (EUA) di Amerika Serikat pada Desember 2021 untuk profilaksis atau pencegahan pra-paparan COVID-19 pada orang dengan gangguan kekebalan sedang hingga parah dikarenakan kondisi medis ataupun obat imunosupresif serta yang mungkin tidak memiliki kekebalan memadai terhadap vaksinasi COVID-19, serta orang-orang yang tidak direkomendasi untuk divaksinasi COVID-19.

Uji coba pengobatan rawat jalan fase III dari AZD7442 TACKLE menunjukkan adanya pengurangan risiko dari COVID-19 yang parah atau kematian sebesar 50 persen dibandingkan dengan plasebo pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 bergejala ringan hingga sedang selama tujuh hari atau kurang.

Ivermectin

FDA belum mengizinkan atau menyetujui ivermectin digunakan dalam mencegah atau mengobati COVID-19. Obat ini hanya disetujui untuk pengobatan infeksi akibat beberapa cacing parasit dan kutu kepala dan kondisi kulit seperti rosacea.

Data yang tersedia saat ini tidak menunjukkan ivermectin efektif melawan COVID-19. Uji klinis yang menilai tablet ivermectin untuk mencegah atau bisa menjadi bagian pengobatan COVID-19 pada manusia sedang berlangsung.

Penggunaan ivermectin sebenarnya dapat berinteraksi dengan obat lain, seperti pengencer darah. Seseorang juga dapat overdosis ivermectin yang ditandai mual, muntah, diare, hipotensi (tekanan darah rendah), reaksi alergi (gatal dan gatal-gatal), pusing, ataksia (masalah dengan keseimbangan), kejang, koma dan bahkan kematian.

Pakar penyakit menular dari University of Maryland, Amerika Serikat, Dr. Faheem Yunus menyatakan perlunya studi lebih luas dan mendalam sebelum menjadikan ivermectin sebagai obat terapi COVID-19.

Menurut dia, obat ini tidak dapat menyembuhkan atau mencegah COVID-19 dan tidak memberikan banyak efek terhadap SARS-CoV-2.

(Antara)