Kekerasan Seksual yang Terjadi di Lingkungan Pendidikan, Perlu Sentuhan Putusan Hakim untuk Menciptakan Efek Jera bagi Pelakunya

Praktisi Hukum Parlin B. Hutabarat, SH.,M.H

Oleh : Parlin B. Hutabarat, SH., MH (Praktisi Hukum)

Dugaan kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi di Palangka Raya kembali terjadi yang dialami oleh mahasiswi dan telah dilaporkan ke pihak kepolisian daerah Kalimantan Tengah.

Peristiwa ini menjadi catatan negatif setelah sebelumnya pada tahun 2019 lalu juga pernah terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi dengan terpidananya seorang oknum Dosen.

Dosen hakekatnya ialah orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyaraka sebagaimana ketentuan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Salah satu prinsip profesi dosen yang termuat dalam UU Guru dan Dosen pada Pasal 7 ayat 1 huruf b ialah Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Sehingga harapan besarnya ialah perguruan tinggi merupakan proses selain mutu pendidikan juga peningkatan akhlak mulia yang diajarkan kepada mahasiswanya. Sangat disayangkan dan perlu ada perhatian serius bagi pemerintah, yang saat ini sering kali terjadi tindakan kekerasan seksual dilingkungan pendidikan, seperti terjadi misalnya yang viral terjadi di lingkungan Sekolah Selamat Pagi Indonesia maupun yang terjadi di Pesantren Jombang.

Saat ini telah dibuat dan disahkan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang merupakan piranti hukum untuk memberikan perlindungan maksimal bagi korban kekerasan seksual. Sebagaimana ketentuan UU tersebut, Tindak kekerasan seksual digolongkan dalam beberapa bentuk perbuatan seperti halnya pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, perkosaan, pencabulan, kekerasan seksual berbasis elektronik, dan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU tersebut dan UU ini juga memuat sanksi pidana tambahan terhadap pelaku yakni Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual (Pasal 16 ayat 2 huruf b).

Praktik kekerasan seksual cenderung terjadi dikarenakan pelaku memiliki kekuasaan baik karena keadaan atau kedudukan/jabatannya terhadap korbannya. Seperti halnya tenaga pendidik (Guru atau Dosen) dapat saja leluasa melakukan tindakan kekerasan seksual dikarenakan kedudukannya yang lebih berpengaruh terhadap anak didiknya, dengan berupa ancaman nilai atau kelulusan sehingga anak didik tidak berdaya dan menuruti kemauan pelaku tersebut. Bahkan walaupun telah terjadi kekerasan seksual, mayoritas korban tidak berani atau enggan untuk menyampaikan keluhan atau keberatan atas perlakuan yang korban alami dikarenakan korban diselimuti ketakutan baik secara psikis (malu atau bahkan cenderung disalahkan) maupun ketakutan bilamana laporannya tidak terbukti lalu dituntut balik seperti halnya pencemaran nama baik atau laporan palsu. Oleh karena itu, UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah secara tegas mengatur beberapa bentuk perlindungan terhadap korban kekerasan seksual yakni:

BACA JUGA:   GPPI Sebut Sebagian Perusahaan Perkebunan Telah Memberikan THR Lebih Awal

Perlindungan sementara dari Kepolisian yang menangani laporannya paling lama 14 hari sejak diterimanya laporan Korban yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari Korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak tertentu dari pelaku sebagaimana diatur pada Pasal 42 UU tersebut

Pelindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan (Pasal 69 huruf c) dan bentuk perlindungan ini dapat berupa “penetapan pembatasan gerak pelaku” dapat diajukan berdasarkan permintaan Korban, Keluarga, penyidik, penuntut umum, atau Pendamping bilamana ada alasan intimidasi, ancaman dan atau kekerasan terhadap korban (Pasal 45 ayat 1).

Pelindungan atas kerahasiaan identitas (Pasal 69 huruf d)

perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan Korban (Pasal 69 huruf e)

Pelindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik (Pasal 69 huruf f) dan

Pelindungan Korban dan/ atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang telah dilaporkan (Pasal 69 huruf g)

BACA JUGA:   Lama Menduda karena Istri Meninggal, Pria 58 Tahun Tega Cabuli Anak Dibawah Umur

Selain itu juga, yang menjadi sangat penting bagi Korban Kekerasan Seksual UU tersebut juga mengatur hak Korban untuk mendapatkan hak atas penguatan psikologis; hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis (Pasal 67 huruf e) dan hak korban untuk mendapatkan restitusi (ganti rugi) sebagaimana diatur pada Pasal 30 ayat 2 berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual; penggantian biaya perawatan medis dan/ atau psikologis; dan/ atau ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Adapun Restitusi tersebut dapat dilaksanakan dalam tindakan penyidik melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku kekerasan seksual sebagai jaminan dengan ijin dari pengadilan negeri yang berwenang. Yang kemudian Restitusi tersebut dilaksanakan paling lambat 30 hari sejak putusan bersalah berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan hal yang telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual maka focus perhatiannya ialah upaya memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual menjadi sangat penting untuk diimplementasikan agar dapat memberikan semangat spiritual bagi korban untuk lebih berani melakukan upaya hukum bilamana mengalami kekerasan seksual dan tidak lupa juga,melalui tulisan ini ialah perhatian sanksi pidana yang dijatuhkan kepada Pelaku Kekerasan Seksual selain pidana penjara maksimal juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa penghukuman pelaku untuk membayar ganti rugi (restitusi) kepada Korbannya dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual (Pasal 16 ayat 2 huruf b) melalui Putusan Pengadilan agar dapat diketahui masyarakat luas, sehingga pidana tambahan tersebut dapat memberikan efek jera kedepannya agar jangan terulang lagi kejahatan kekerasan seksual. Mari kita budayakan “malu untuk berbuat salah, berani karena benar”.

(rahul)