SARKILAH 

Ilustrasi

Sore itu Sarkilah selesai berdandan sesuai keinginannya. Kedua alisnya telah ia perhitam hingga seperti garis-garis malam yang sunyi. Bibirnya telah ia poles dengan warna kelopak mawar tua. Bedak cina yang baru dibeli sudah cukup tebal untuk menutupi pori-pori wajahnya yang tidak halus lagi. Sebentar ia memperbaiki jepitan rambut  yang terasa menusuk kulit kepalanya. Kemudian sekali lagi ia menatap wajahnya di cermin kecil dekat tempat tidurnya. Ia tak ragu-ragu lagi, lalu pergi ke warung di muara gang tempat tinggalnya.

Bila Sarkilah berpapasan dengan ibu-ibu penghuni gang, maka ibu-ibu itu akan memalingkan wajah karena resah dan risih melihat dandanan Sarkilah. Bukan hanya soal alisnya yang seperti garis-garis malam sunyi, melainkan juga karena pakaiannya yang serba yukensi.

Dasar gatal, gerutu ibu-ibu sesamanya. Tetapi Sarkilah tak perduli. Bahkan, mekipun benda yang dibelinya sudah ada dalam tangannya, ia akan berlama-lama berada di sekitar warung di muara Gang Kacapiring itu untuk memperlihatkan diri kepada siapa saja yang berkenan melihatnya, kecuali kepada ibu-ibu gang saat mereka berbelanja di tempat yang sama.

Sudah hampir satu bulan ini Sarkilah berdandan seperti demikian. Padahal kurang lebih lima bulan sudah suaminya meninggal dunia, akibat kecelakaan lalu lintas, Sarkilah jarang keluar rumah, jarang berdandan dan jarang pula ke warung di muara gang itu. Perubahan yang tampak mendadak itu bukan saja membuat serba salah ibu-ibu gang, melainkan juga membuat ibu Sarkilah bertanya-tanya.

“Apa tidak terburu-buru, Sar? Belum lima bulan suamimu meninggal,” kata ibu Sarkilah sambil menyisir rambut cucu perempuannya, anak Sarkilah.

“Lima bulan bukan waktu sebentar, Ma. Isar masih muda. Apa salahnya Isar begini,” sahut Sarkilah.

“Umur sudah lebih tiga puluh, muda apanya Sar?”

“Muda keinginannya, Ma !” Jawabnya.

Ibunya tak menyahut lagi. Orang tua itu teringat pada dirinya yang sudah uzur. Kalau saja ayah Sarkilah meninggal pada saat usiaku seperti dia, barangkali aku pun akan seperti dia. Tapi aku sedikit lebih beruntung, ayah Sarkilah meninggal pada saat keinginanku sudah tidak muda lagi, ucap batin ibu Sarkilah.***

Keresahan dan kerisihan ibu-ibu Gang Kacapiring sebenarnya masih cukup terkendali jika saja tidak terjadi peristiwa aneh suatu sore. Kala itu, seperti biasa, Sarkilah bermaksud pergi ke warung di muara gang untuk membeli beberapa keperluan dapur, tiba di depan salah satu rumah di gang itu ia berhenti dan menoleh ke arah kaca jendela rumah tersebut.

Di situ ia memperbaiki letak jepitan rambut yang terasa terlalu ketat di kepalanya. Tidak hanya itu, ia juga membersihkan luberan pemerah bibirnya dengan kertas tisu, lalu dilanjutkan dengan menipiskan bedak cina di wajahnya.

Sarkilah tidak tahu kalau di balik kaca jendela itu ada puluhan pasang mata bapak-bapak sedang memperhatikannya. Dalam rumah itu sedang berlangsung acara selamatan atas keberhasilan anak tuan rumah masuk sekolah menengah. Sementara Sarkilah masih diruwetkan oleh riasan wajahnya di depan kaca itu, pembaca doa, ustadz Syakri, berhenti sejenak untuk turut serta menyaksikan apa yang memang perlu ia saksikan dari balik kaca jendela itu.

Ketika ibu-ibu yang sedang menyiapkan hidangan di dapur tahu keadaan demikian, maka salah seorang dari mereka keluar menemui Sarkilah untuk menjelaskan masalah yang terjadi di belakang kaca tempat ia berias.

Sarkilah sedikit kaget, lalu beringsut menjauh, namum kemudian ia tertawa-tawa sendiri. “Dasar janda gatal!,” rutuk si ibu hampir tak terdengar.

Sejak itu beberapa ibu-ibu Gang Kacapiring mulai berembuk untuk menyiasati Sarkilah. Mereka menemui Ketua RT supaya menasehati Sarkilah agar tidak lagi berdandan minor dengan pakaian yukensi warna menyala-nyala, mondar-mandir keluar-masuk gang.

“Apa maunya Sarkilah itu? Tolonglah Pak RT nasehati supaya tidak berias sembarangan lagi,” pinta seorang ibu tetangga sebelah rumah Sarkilah.

“Ini repot. Masalahnya itu merupakan hak azazi tiap-tiap warga negara. Nanti kalau kularang, aku malah dituduh melanggar HAM, bagaimana?,” sahut Pak RT.

“Tapi Pak RT kan bisa menerapkan peraturan daerah tentang mengganggu ketertiban umum, apa salahnya?,” sanggah ibu yang lain.

“Ini lebih repot lagi. Undang-undang HAM itu statusnya lebih tinggi daripada peraturan daerah tentang ketertiban umum. Jadi, tetap saja repot. Begini saja, bagaimana kalau kita minta kesediaan ustadz Syakri untuk menasehati Sarkilah dengan segala hal yang berhubungan dengan aurat? Dahulu Sarkilah juga pernah ikut pengajian ustadz Syakri, bagaimana?”

Maka atas saran Pak RT itu ibu-ibu Gang Kacapiring sepakat menghubungi ustadz Syakri. Alasan ibu-ibu membujuk ustadz Syakri ialah bahwa Sarkilah itu sudah melanggar norma-norma agama yang berhubungan dengan aurat. Bukankah salah satu tema ceramah yang getol dikumandangkan ustadz Syakri di depan ibu-ibu ialah masalah penampakan aurat itu? Jadi, bila ada salah seorang bekas jamaah pengajiannya dengan sengaja menampakkan aurat melalui pakaian yukensi, maka sudah menjadi kewajiban ustadz untuk mengingatkannya. Dengan alasan demikian ustadz Syakri, suka tidak suka, menyetujui permintaan ibu-ibu gang Kacapiring.

Dengan wajah tersipu-sipu ustadz Syakri menemui Sarkilah di depan warung muara gang, tempat Sarkilah biasa berbelanja keperluan dapur.”Dik Sarkilah, sudah tak terlihat ikut pengajian lagi, sibuk ya?,” sapa ustadz Syakri sambil mencari-cari kata yang pantas diucapkan saat bertemu Sarkilah.

“Ya, Pak Ustadz, Isar lagi sibuk. Pak Ustadz belanja juga, ya?”

“Oh, tidak. Saya hanya ingin ketemu Dik Isar saja!”

“Hanya ingin ketemu Isar? Kenapa tidak ke rumah saja, Pak Ustadz.  Di rumah juga lagi sepi, ucap Sarkilah sedikit genit. Kalau Isar tak apa-apa, tapi kalau Pak Ustadz  berbincang-bincang di sini, dengan Isar apa kata orang nanti?”

“Ah, tidak apa-apa, cukup di sini saja. Saya hanya ingin menanyakan soal kerudung saja. Kenapa kerudungnya sudah tidak dipakai lagi, Dik Isar?”

“Ya, nanti, kalau Isar ikut pengajian lagi, pasti kerudungnya Isar pakai,”

“Pakai kerudung itu tidak mesti menunggu pengajian, Dik Isar. Memakai kerudung itu wajib hukumnya bagi tiap-tiap perempuan beriman,” ucap ustadz Syakri.

Sarkilah terdiam menundukkan wajah karena terganggu oleh pernyataan ustadz Syakri. Namun tiba-tiba ia mengangkat wajahnya untuk menatap kedua mata ustadz Syakri. “Yang Maha Kuasa menganugerahi Isar dengan wajah dan tubuh yang tidak menarik, Pak Ustadz. Kalau bukan dengan ini, lalu dengan apa Isar dapat menarik perhatian laki-laki?,” ucap Sarkilah sambil menunjuk dadanya yang menonjol di depan Ustadz Syakri.

Ustadz Syakri tersentak. Lalu menelan air liurnya yang mendadak terasa lengket dan pahit di tenggorokannya. Ia memalingkan wajah ke arah jalan raya untuk mengedip-ngedipkan kedua matanya yang terasa hangat dan agak gatal. Sekejap kemudian ustadz Syakri pun pergi tanpa pamit kepada Sarkilah.

Beberapa hari sesudahnya, dan karena tidak melihat adanya perubahan pada tingkah-laku Sarkilah, ibu-ibu Gang Kacapiring kembali menemui ustadz syakri.

“Bagaimana Pak Ustadz, tampaknya tak ada perubahan. Apa Pak Ustadz takut melanggar HAM juga, ya?” ucap seorang ibu sambil bergurau.

“Bukan soal HAM. Tapi si Sarkilah itu sedang jatuh cinta!”

“Jatuh cinta?,”  kata ibu-ibu saling pandang.

“Dan cinta di dada Sarkilah itu sudah menggumpal kuat sehingga semua nasehat-nasehat saya tidak bisa masuk,” kata ustadz Syakri cepat.

“Jatuh cinta kepada siapa, Pak Ustadz?,” susul ibu yang lain.

“Saya kurang tahu. Tapi mungkin saja jatuh cinta kepada salah seorang bapak-bapak dalam gang itu juga. Ya, mungkin?,”

“Mungkin?,” Ibu-ibu saling pandang dengan wajah penuh curiga.

Sebentar kemudian mereka pun membubarkan diri dan pulang membawa kecurigaan tersebut ke dalam rumah mereka masing-masing. Sejak itu keresahan ibu-ibu Gang Kacapiring terbagi dua, ke arah Sarkilah dan ke arah suami mereka masing-masing. Jangan-jangan Sarkilah jatuh cinta kepada bapaknya anak-anak? begitu pikir ibu-ibu. Maka demi menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, ibu-ibu Gang Kacapiring sepakat melarang suami-suami mereka duduk di teras rumah pada sore hari. Dan rupanya larangan tersebut berlaku juga terhadap Pak RT.

“Urusan Sarkilah sampai dibesar-besarkan begini, memangnya kenapa?,” tanya Pak RT suatu ketika kepada isterinya yang melarangnya main catur di teras rumah pada sore hari.

“Sarkilah itu sedang jatuh cinta,” sahut isterinya.

“Jatuh cinta itu hak asasi tiap-tiap orang, Bu. Biarkan saja!,”

“Bapak selalu saja membela hak asasi Sarkilah, belum pernah membela hak asasi ibu-ibu yang diresahkan Sarkilah. Pasti ada apa-apanya?,”

Pak RT tak melanjutkan percakapan tersebut. Namun ia sadar bahwa masalah Sarkilah itu sudah mempengaruhi ketenangan hidup warganya, sehingga ia merasa perlu melakukan sesuatu yang berguna untuk memulihkan keadaan. Maka secara diam-diam Pak RT mengadakan penyelidikan. Di samping ia sendiri, ia juga menemui pemilik warung di muara gang untuk meminta kesediaannya memata-matai Sarkilah. Apakah ada lelaki yang rajin juga ke warung bersamaan dengan Sarkilah, ataukah ada lelaki lain di muara gang itu yang telah membuat Sarkilah jatuh cinta?

Satu minggu berlalu, pemilik warung melaporkan bahwa tampaknya Sarkilah memang sedang mengadakan pendekatan kepada Durahman, penjual sate, yang setiap sore hingga malam berjualan di samping warungnya.

Pak RT cukup gembira bahwa ternyata sasaran cinta Sarkilah bukan bapak-bapak warga Gang Kacapiring, melainkan si Durahman, duda lima puluh tahunan yang sudah lama hidup sendiri. Maka dengan senang hati Pak RT membantu memperlancar urusan tersebut. Pada malam harinya Pak RT membeli sate bukan untuk dibawa pulang seperti biasanya, tapi untuk disantap di tempat.

“Sate Pak Durahman ini gurih sekali. Sangat pas buat hidangan selamatan di rumah Sarkilah,” kata Pak RT sambil mengunyah sate.

“Ah, Pak RT bisa saja!,” sahut Durahman agak kaget.

“Kabarnya Sarkilah mau dilamar orang. Biar nanti saya usul agar sate Pak Durahman ini hidangan selamatannya!,”

“Dilamar orang?,”

“Ya, janda seperti Sarkilah itu sama gurihnya dengan sate ini, cepat laku. Siapa cepat dia dapat,” susul Pak RT sekenanya saja.

Durahman gelisah. Malam itu ia menggulung tenda satenya lebih awal dari biasanya meskipun belum semua satenya terjual. Pak RT yang mengetahui hal itu mengerti bahwa Durahman memang punya hubungan apa-apa dengan Sarkilah. Ia berharap Durahman segera melamar Sarkilah supaya desas-desus soal Sarkilah segera berlalu.

Harapan Pak RT rupanya terkabul, karena tidak lama sesudah membeli sate, ia sudah menerima undangan selamatan pernikahan Sarkilah dengan Durahman. Ia mengimbau agar bapak-bapak, ibu-ibu dan segenap warga Gang Kacapiring hadir pada acara pernikahan tersebut. “Ini berkah namanya, patut kita syukuri,” ucap Pak RT pada warganya.

Sebagaimana biasa, pernikahan antara janda dengan duda di sekitar Gang Kacapiring itu dilaksanakan pada malam hari, begitu pun pernikahan Sarkilah dan Durahman. Hidangannya sate ayam buatan Durahman sesuai permintaan Pak RT.

Ibu-ibu Gang Kacapiring bergantian mengucapkan selamat sejahtera kepada Sarkilah, “Selamat ya, Sar,” ucap mereka dengan wajah gembira karena merasa terlepas dari lubang keresahan dan kecurigaan. Dan dalam kesempatan itu hadir pula ustadz Syakri mengucapkan selamat kepada Sarkilah serta berpesan supaya Sarkilah tidak lupa sama kerudungnya.

Kemudian Pak RT juga mengucapkan selamat kepada Durahman seraya berkata bahwa sate ayam Durahman malam itu lebih gurih daripada malam-malam sebelumnya. Segurih sate ayam saya sendiri, sahut Durahman sambil melirik Sarkilah di sampingnya. Kemudian mereka berdua tertawa.

Sejak itu Sarkilah jarang terlihat keluar rumah. Hanya sesekali terlihat keluar gang, mengenakan kerudung dan pakaian panjang, untuk membantu Durahman membereskan tenda dan gerobak satenya, itu pun hanya sebentar. Semua pakaian yukensinya telah ia lipat dan ia simpan dalam lemari ibunya. “Barangkali suatu hari nanti aku memerlukannya lagi, ucap Sarkilah pada ibunya. ***