Senyum Manis Penjual Takjil Sesejuk Berkah Ramadan

Ilustrasi takjil ramadan

Takjil, bukan hanya tentang menu berbuka puasa yang dijual di pasar ramadan. Ternyata ada tekad, kegembiraan, dan rasa syukur untuk rezeki di bulan penuh berkah.

Oleh: Muhammad Junus

Angin sejuk awal Ramadan bertiup lembut di tengah hiruk pikuk kendaraan di Jalan Juanda Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.

Hembusan angin pada Kamis 23 Maret 2023 malam itu membawa sesuatu yang lain. Aroma syukur menyeruak, rona kegembiraan setelah sehari berpuasa terpancar meski baru hari pertama.

Malam itu beberapa orang baru saja pulang dari salat tarawih.

Seorang perempuan dengan jilbab coklat tua bersama anak lelakinya membuka lapak yang ditutup kain bekas spanduk. Seketika bau harum khas jajanan tercium.

Heni, nama perempuan itu.

Ya, seperti pada bulan puasa tahun-tahun sebelumnya, ia selalu berjualan menu berbuka puasa. Ada amparan tatak, kue lapis, bebongko, bingka, kelepon, dan aneka gorengan.

“Mencari wadai (kue) kah. Tapi banyak yang habis, tinggal ini aja,” sapanya kepada Berita Sampit, sembari membereskan nampan atau tempat kue yang kosong dan merapikan beberapa kue ke dalam satu wadah yang lebih besar.

“Biasa, kalo awal puasa semuanya ludes terjual,” ucapnya lagi sambil tersenyum.

Hani, adalah salah satu diantara puluhan penjual jajanan untuk berbuka di Kota Sampit, yang sudah dilakoninya sejak masih remaja.

“Kalo gorengan, bebongko, agar-agar dan lapis buatan saya, Alhamdulillah semuanya habis hanya tinggal gorengan, Kalau ini wadai (kue) punya orang. Mereka umpat meandak (menaruh),” kata Heni lagi.

Pembeli bukan saja mereka yang menjalankan berpuasa, tapi dari beberapa kalangan yang ingin mencari jajanan tradisional yang jarang ada di hari-hari biasanya.

“Tadi ditinggal tarawih dulu, habis tarawih baru beres-beres jualan sambil menunggu pemilik wadai ngambil uang hasil yang laku,” terangnya.

Ibu muda ini ternyata tidak hanya menjual kue buatannya, tapi menerima titipan dari pembuat kue lainnya untuk di jual di lapaknya. Ia pun mendapat persen dari kue yang terjual.

Seperti halnya pedagang takjil lainnya, harga yang dipatok antara dua ribuan, dan Rp10ribu-Rp15ribu, hanya beberapa kue seperti bingka kentang yang berkisar di harga Rp25ribu-Rp30ribu.

“Kalau hari biasa, sama bapaknya anak-anak bantu orang tua jualan nasi,” ceritanya.

Tiba-tiba seorang lelaki datang dengan sepeda motor keluaran tahun 90an.

“Eh ada tamu?!. Kalau ini bukan tamu atau pembeli namanya. Tadi di tarawih disamping saya, kok tiba-tiba muncul disini,” sapa lelaki itu menyapa Berita Sampit, yang tak lain suami dari Heni.

Sambil bercengkerama lelaki itu kemudian mengambil sekantung penuh kue dalam tas kresek disamping lapak kemudian siap pergi lagi.

“Saya tinggal dulu ya, mau ngantar wadai buat jemaah tadarusan di mushola,” ucapnya.

Ternyata, ada pelajaran penting yang diambil dari kejadian itu, yaitu berbagi kepada sesama di indahnya ramadan.

Kue jualan yang tidak habis terjual dan tidak diambil pemiliknya atau diberikan oleh empunya dibagikan ke musala-musala untuk mereka yang sedang tadarusan.

“Biar sedikit, ya bagi-bagi rezeki ya Bang,” ucap Heni sambil tersenyum, seakan tahu apa yang sedang berkecamuk di pikiran Berita Sampit.

Seolah tak ada beban, candaan ringan dan senyum ketulusan disela-sela obrolan singkat malam itu mengantarkan kita akan hikmah besar bulan Ramadan. Bulan penuh berkah, bulan untuk berbagi kepada sesama, bulan penuh ampunan, untuk mendapatkan ridhoNya yang menjadikan Fitri pada akhirnya.***