Dimusim Jelang Kampanye Pemilu, Politik Masyarakat Sulit untuk Dilawan

Ilustrasi

Oleh: Maman Wiharja (Wartawan Senior – beritasampit.com )

 

Sekarang usiaku sudah 71 tahun,  dan profesi wartawan digeluti sejak tahun 1982 sampai sekarang 2023 masih aktif menulis, menyoroti berbagai masalah diantaranya masalah politik, menjelang musim Pemilihan Umum (Pemilu), baik Pemilihan Umum Presiden dan Wakilnya, serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur, Walikota dan Bupati serta Pileg (Pemilihan Legislatif ).

 

Sejak lengsernya Soeharto tanggal 21 Mei 1998 dari jabatan Presiden RI, pengamatan penulis, dulu jaman orde baru (orba), para elit birokrasi dan elit politik dengan mudahnya menunjuk siapa bakal Calon Gubernur, Calon Walikota/Bupati, serta para Calon Anggota DPRD-DPR RI.

 

Bagi mereka para calon tidak harus mengularkan banyak kocek (uang), cukup membayar uang administrasi kepada panitia pemilihan dan biaya selamatan setelah dilantik.

 

Kemudian, dulu semua rakyat di Indonesia saat jelang Pemilu nampak adem ayem bekerja santai dalam masing-masing aktivitasnya. Sekarang setelah gaung reformasi, terkait dengan Pemilu, banyak terjadi aksi demo. Bahkan, menantu dan mertua jelang Pemilu  ‘bermusuhan’, gara-gara politiknya berbeda.

BACA JUGA:   Bukan Hanya Ada  di Cirebon, Musik Obrog-Obrog Pembangun Sahur Ternyata Juga Ada di Kota Kumai, Kotawaringin Barat

 

Pengamatan penulis, sejak gaung reformasi mulai  menggema, undang-undang dan proses politik jelang Pemilu pun di Indonesia berubah total, antara lain siapa pun masyarakat yang akan jadi Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, dipersilahkan asal memenuhi aturan dan kriteria yang telah ditentukan oleh KPU.

 

Namun disisi lain saat menjelang musim kampanye, pengamatan penulis banyak oknum masyarakat dengan politiknya memanfaatkan cari uang kepada para Calon Legislatif dan Calon Gubernur, Walikota dan Bupati.  Karena mereka sudah tahu, bahwa semua Calon  sangat  membutuhkan jumlah suara.

 

Dan politik dor to dor oknum masyarakat dan kelompok tertentu sulit untuk dilawan, baik oleh pakar politik di elit birokrasi maupun elit parpol, karena tidak ada larangan.

 

Apa sih politik mereka?, tiada lain mereka baik perorangan maupun kelompok, keliling mendatangi para calon, atau tim suksesnya. Kemudian setelah bertemu  para calon atau tim suksesnya, mereka menyodorkan proposal untuk minta bantuan, dan siap akan memeilihnya.

BACA JUGA:   Berdiri Tahun 1961 dengan Modal Dasar Rp10 Juta, Bank Kalteng Sekarang Berhasil Menumbuhkan Aset Sampai Rp15,19 Triliun (Bagian 01)

 

Oknum masyarakat perorangan maupun kelompok tersebut, kesetiap calon bicaranya sama, setelah menyampaikan profosal minta bantuan, siap akan memenangkannya. Nah itulah politik dor to dor mereka, pada jelang dan saat hari-hari kampanye, mendatangi para calon untuk mencari uang.

 

Fenomena adanya poltik dor to dor, karena penulis mengalami sendiri saat penulis  mencalonkan Anggota DPRD Kabupaten Kobar ditahun 1990 an, dan banyak faktanya benar sekali. Rumah penulis, sering didatangi sejumlah orang dan kelompok tertentu dengan membawa proposal.

 

Dan informasi dari teman-teman Caleg lainnya juga sama, sering didatangi oleh oknum masyarakar perorangan yang sama, dan oknum kelompok tertentu yang sama, mereka sama bicaranya siap akan memilih. Karena penulis, tidak memiliki modal uang banyak, akhirnya kalah. ***