Sendratari  “Panglima Utar Amuk Banua Kumai”, Menguak Kembali Kebangkitan Seni Budaya Gaya Kontemporer Tahun 70an

Ilustrasi Kang Maman

Oleh: Maman Wiharja (Wartawan Senior-beritasampit.com)

Setelah  menyimak video pagelaran Sendratari “Panglima Utar Amuk Banua Kumai” yang telah digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalteng di Panggung Teater Terbuka Taman Budaya Palangka Raya,  Sabtu 2 Desember 2023, merupakan awal menguak kembali kebangkitan seni budaya, gaya ‘kontemporer’ di zaman tahun 1970-an.

Pagelaran Sendratari “Panglima Utar Amuk Banua Kumai” yang kali pertama digelar di Palangka Raya, pengamatan penulis dipastikan sangat memukau bagai para penontonya, karena alur ceritranya diawali berbagai ‘adegan’ yang penampilannya dikemas dengan gaya ‘kontemporer’, melalui gerak dan alunan merdu yang dilantunkan oleh sejumlah pemeran dengan wajah serius, melantunkan lirik-lirik syair pantun siloka yang penuh dengan makna sejarah Perjuangan Panglima Utar.

Adegan lainnya, yang juga sangat menarik  diwarnai dengan gerak sendratari massal gaya ‘pantomin’, yang diiringi musik ‘kontemporer’ dengan beberapa selingan musik instrumental Pop yang dikolaborasi dengan musik gaya Melayu, sehingga dalam alur ceritranya nampak sekelompok orang menari dengan penuh ceria dan gembira.

Pada adegan berikutnya, tampak sejumlah orang (yang menampilkan mereka adalah masyarakat pengikuti Panglima Utra pejuang Kumai, red), dengan serius mendengarkan Suara  Bung Karno Presiden RI pertama, saat membacakan Teks Proklasi Kemerdekaan RI.

“Proklamasi, Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dll, diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. Djakarta, 17 Agustus 1945 . Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno/Hatta”.

BACA JUGA:   Pj Bupati Kobar Minta Dikbud Lakukan Inovasi Perihal Perda Beasiswa

Setelah Bung Karno membacakan Teks Proklamas, adegan sejumlah sosok orang nampak berubah jadi sumringah ( gembira ), yang langsung diwarnai tari masal yang diiringi musik jenaka ala Melayu. Dan panggung pun tiba-tiba gelap, tapi sesekali terlihat sinar cahaya  dan terdengar suara klakson kapal perang menggema . ( yang menandakan nun jauh dalam kegelapan di Teluk Kumai, telah datang Amada perang Tentara Belanda ).

Sejenak lokasi panggung masih nampak gelap, kemudian muncul dua orang berjalan seperti menggapai keharuan, yang disusul oleh sejumlah sosok orang lainnya yang tubuhnya nampak lemas, tapi nampak pula sejumlah sosok orang yang berlarian, mengitari sosok orang yang penuh duka dan ketegangan.

Tidak lama kemudian, muncul sosok seorang pelakon dengan penampila penuh wibawa mendekati sosok orang lainnya yang sedang berkumpul. Dan alunan Kalam Illahi pun, ( Lapad Sahadat  ), dari sosok orang yang berwibaya  terdengar berkumandang, yang diwarnai dengan tari massal dari seluruh  pemeran, yang sebagian para penarinya menghunus tombak , siap melawan Penjajah Belanda, dengan pekikan Takbir “Allahuakbar “ , dan berakhirlah alur ceritra Sendra Tari “ Panglima Utar Amuk Banua Kumai “, yang para pelakonnya mengambil dari 6 Sanggar Seni Budaya di Kalteng, antara lain SSB Antang Banua, SSB Kahanjak Huang, Dapur Tari Abib Igal, SSB Hagatang Tarung dan Sanggar Sababuka serta Komunitas Pangka Balingan.

BACA JUGA:   Pelaku UMKM Alun-Alun Istana Kuning Penuh Ceria Bagikan Takjil Ramadan

Pengamatan penulis, pagelaran Sendratari “ Panglima Utar Amuk Banua “, menguak kembali kebangkitan Seni Budaya Teater gaya kontempporer dijaman tahun 1979,an.

Dimana waktu itu seorang pengarang, penyair, dramawan, sutradara  bernama WS.Rendra . Pada tahun 1967 mendirikan ‘Bengkel Teater’ di Jogyakarta. Dan sekitar tahun 1970an WS.Rendra hijrah ke Jakarta, sehingga namanya menjadi tenar setelah menulis sajak berjudul “Burung Merak “ dan menggelar sejumlah ‘Teater Contemporer .

Kebetulan penulis setelah lulus SMA Negeri 2 Cirebon tahun 1976, dengan  Andrian Hardjo teman sekelas di SMAN 2 pernah mendirikan teater, dengan nama ‘Teater Nara’, yang tahun 1978 sempat mentas drama di TVRI, dengan judul “Hitam-Putih “, kebetulan penulis berperan sebagai tokoh antagonis yaitu  Tuan Tanah.

Penulis mengucapkan salut luar biasa, kepada sutradara dan seluruh pelakon Sendratari “ Panglima Utar Amuk Banua Kumai “.

Semoga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provisi Kalteng, bisa mengagendakan Sendratari ini untuk pentas di seluruh Kabupaten/Kota se- Kalteng, secara bertahap.***