Malam Kata, Refleksi Mengenang WS Rendra

Aksi salah satu pembaca puisi "Malam Kata. Ungkapkan Rasa dan Karyamu Dalam Kata, Refleksi Mengenang WS Rendra"

Suasana berbeda terlihat di teras samping Kedai Cangkir Tua, di Jalan MT Haryono Barat.

Dua orang anak muda sedang mempersiapkan sebuah altar layaknya sebuah pertujukan.Tidak begitu luas, hanya tiga meter persegi.

Ada tiga buah bangku kecil dengan latar kain putih yang disusun tak beraturan menumpuk disebuah tumpuan. Sebuah bendera merah putih tertancap gagah tepat ditengahnya.

Proses kreatif anak-anak muda ini menghasilkan latar yang artistik dan kuat dalam estika, Meski tidak ada penerangan yang cukup, hanya lampu sorot kecil sebagai pelengkap pencahayaan tempat pertunjukkan.

Disisi lain, tepat di depan altar, hamparan tikar yang tidak begitu lebar disediakan untuk penonton yang ingin menikmati pertunjukkan kecil yang akan disajikan.

Jam delapan malam, tanpa komando, sekumpulan anak muda ini berkumpul, berdesakan di tikar yang terlihat sudah lusuh. sementara yang tidak kebagian tempat mereka bersila beralaskan koran bahkan ada yang nongkrong dipojokan didalam gelap.

Mereka berasal dari beberapa komunitas, seperti, Komunitas Kata Mentaya, Sanggar Sastra Religius Mentaya Estetika Sampit, Tjangkir Boedadja, serta Limbah Sastra dan Teater Pendaran, maupun Komite Sastra Dewan Kesenian Daerah Kotim.

Seorang anak muda memberanikan diri maju menjadi pembawa acara.

Tidak ada kalimat khusus, hanya salam dan selamat datang yang diucapkan, acarapun dimulai.

“Selamat malam dan salam sastra. Malam ini kita berkumpul bersama untuk mengenang seorang penyair dan sajian apresiasi sastra, karya besar untuk kita bacakan. Mengenang hari jadi seniman dan budayawan almarhum WS Rendra ke-84 tahun,” ucapnya membuka acara.

Menurut sang pembawa acara, malam itu mereka namakan “Malam Kata. Ungkapkan Rasa dan Karyamu Dalam Kata, Refleksi Mengenang WS Rendra.

“Sebenarnya ini dadakan, setelah ingat hari itu tanggal 7 November adalah hari kelahiran WS Rendra. Secara reflek dan spontanitas saya hubungi teman-teman bahwa kita lakukan malam refleksi malam ini untuk mengenang sastrawan besar ini dan teman-teman setuju,” ungkap Cak Ipan Tagem, inisiator pementasan, Jumat (9/11/2019).

Menurut pria nyentrik pemilik Kedai Cangkir Tua ini, respon penonton dan penikmat seni cukup baik. Padahal dirinya hanya menyebarkan pamplet melalui sosial media ke beberapa komunitas seni serta pecinta dan pemerhati sastra di daerah ini.

Pada malam refleksi tersebut itu diisi dengan pembacaan puisi atau musikalisasi puisi karya-karya WS Rendra. Uniknya peserta dan pembaca puisi adalah mereka yang duduk sebagai penonton.

Mereka turut andil membacakan satu atau dua puisi karya WS Rendra, seperti Gugur, Permintaan, Doa Serdadu Sebelum Perang, Pamplet Cinta, Sajak Anak Muda, Puisi Rendra tentang Pendidikan dan Sajak-sajak Cinta WS Rendra lainnya.

“Untuk generasi muda wajib tahu, siapa itu Rendra, siapa itu Khairil Anwar maupun sastrawan besar Nasional khususnya. Dengan cara mengapresiasi karya-karya mereka,” pesan Cak Ipan Tagem.

Untuk diketahui, Willibrordus Surendra Broto Rendra (WS Rendra), lahir pada 7 November 1935 ini juga dikenal sebagai penyair legenda. Penyair ternama itu memiliki julukan si Burung Merak. Meski telah tiada (meninggal pada 6 Agustus 2009) pada usia 73 tahun, namun nama besar dan karyanya selalu diingat segenap pencinta seni puisi dan teater serta masyarakat luas.

“Kesadaran adalah Matahari, Kesabaran adalah Bumi, Keberanian adalah Cakrawala, Dan Perjuangan adalah Pelaksanaan Kata-kata”.

Itulah salah satu bait puisi karya WS Rendra yang cukup terkenal di kalangan seniman maupun masyarakat umum.

Sementara salah seorang pemerhati seni di Sampit yang tidak ingin namanya disebutkan mengungkapkan, mengapresiasi upaya yang dilakukan anak muda di kabupaten Kotawaringin Timur dalam mengekspresikan diri melalui lisan dan tulisan yang tertuang dalam karya, baik teater, musikalisasi, dan karya seni lainnya.

Hal ini terlihat dari upaya mereka melalui beberapa kegiatan yang di gelar, seperti malam apresiasi memperingati Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam rangka Hari Sumpah Pemuda dan pagelaran lainnya.

“Ini merupakan upaya nyata dari anak-anak muda yang perlu diapresiasi dalam menjawatahkan diri melestarikan dan menumbuhkan minat terhadap kesusastraan.

Kegelisahan ini harus diberikan ruang dan wadah untuk mereka mereka berekspresi melalui lisan maupun tulisan, untuk menggali inspirasi maupun ide dan menghasil karya.

Ide adalah hasil refleksi sesorang, lalu dituangkan dalam tulisan. Melalui tulisan kreatif orang belajar menyatakan pikiran.

“Ulama besar Imam Ghazali pernah mengatakan, kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.” pungkas pria yang dikenal dengan sebutan Si Bunga Rumput Liar, disetiap karyanya.

(jun/beritasampit)