Tuntutan Hakim Terhadap Sapur,  Peladang Tradisional Dayak Dinilai Tidak Masuk Akal

Berita Sampit
Ist/BS - Ketua Cabang GMKI Palangka Raya Alfrit Dody.

PALANGKA RAYA – Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Palangka Raya, menyoroti terkait tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara terhadap seorang peladang yang bernama Sapur. Dia ditangkap pada 18 September 2019 di kebun miliknya di Desa Juking Panjang, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng).

Dalam Surat Tuntutan Kejaksaan Negeri Murung Raya Nomor Register Perkara PDM-01/P.Cahu/11/2019, aktivitas yang dilakukan Sapur dinilai menyebabkan pencemaran udara dan kabut asap di Kabupaten Murung Raya. Selain itu, ada tiga hal lain yang memberatkannya.

Ketua Cabang GMKI Palangka Raya Alfrit Dody mengatakan, sebagai Organisasi yang berskala Nasional yang yang usianya 70 Tahun Indonesia dengan Tri Matra adalah Gereja, Perguruan Tinggi, dan Masyarakat. Hadir Karena melihat banyak persoalan yang masih terjadi di masyarakat salah satunya persoalan di Negeri yang menimpa peladang Dayak.

“Saya sangat-sangat prihatin dan menyayangkan tuntutan yang tidak logis berdasar fakta bahwa JPU menuntut Saprudin alias sapur dituntut 3 tahun penjara dengan denda Rp 3 miliar, akibat diduga membakar lahan, dengan dalil bahwa aktivitas yang dilakukan Sapur dinilai menyebabkan pencemaran udara dan kabut asap di Kabupaten Murung Raya dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup” ucapnya.

BACA JUGA:   PPKHI Kalteng Turut Menyoroti Kasus Dugaan Malapraktik, Sebutkan Hukuman Terberat Hingga Siap Bantu Korban

Selain itu Dody menilai, bahwa Sapur hanya membakar ranting-ranting dan tidak sampai satu hektar atau tepatnya 50 meter x 70 meter.

“Bedakan Peladang dan Pekebun kita sama-sama bisa berfikir logis pak Sapur membakar ranting-ranting di kebunnya untuk berkebun, bagaimana mungkin seorang peladang seperti pak Sapur yang hanya membakar ranting yang tidak sampai satu hektar di tangkap dan tuntut 3 Tahun dan 3 Miliar di mana hati nurani para JPU menuntut seorang peladang yang tidak berdaya, bagaimana untuk para koruptor yang di tuntut hanya beberapa tahun dan denda tidak seberapa”. Pungkasnya

BACA JUGA:   Mayat Bayi Mengapung di Sungai Mentaya Diduga Sudah Dua Hari

Dody menambahkan bahwa hukum sepatut nya berlaku adil kepada warga negara Indonesia bukan malah menindas masyarakat kaum bawah.

“Kami berharap pledoi yang di buat Pengacara sapur bisa di terima Hakim dan Hakim harus benar- benar berpikir lebih logis mengenai putusan yang diberikan, kami berharap pak Sapur dibebaskan dan bisa kembali ke keluarganya” ujar Dody.

Sementara itu Dody menjelaskan, pembahasan Menteri Lingkungan Hidup bersama DPR RI yang membidangi Lingkungan Hidup, Hutan dan Lahan untuk segera merevisi UUD Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang sekarang carut marut dan di ketok palu. Rancangan Undang-undang (RUU) masyarakat adat juga dirasa penting untuk segera disahkan.

“Tidak adanya payung hukum bagi masyarakat adat lah yang menjadi biang kerok krimimalisasi terhadap petani lokal selama ini” tutup Dody.

(NA/ beritasampit.co.id)