PALANGKA RAYA – Keputusan vonis terhadap peladang kembali menuai komentar pedas dari berbagai pihak yang peduli dan merasa senasib sepenanggungan, kisah pak Antonius warga desa Kamawen yang telah divonis 1 tahun dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Muara Teweh sungguh melukai kemanusiaan.
Begitu juga dengan pak Saprudin atau pak Sapur yang dituntut 3 tahun penjara dengan denda Rp 3 miliar oleh pengadilan Negeri Puruk Cahu dinilai oleh beberapa pihak sebagai tuntutan yang tidak masuk akal dan sungguh tidak manusiawi.
Fr Sani Lake, Direktur Justice Peace and Integrity of Creation (JPIC) Kalimantan menilai bahwa tindakan ini sungguh tidak adil dan hanya mengada-ada untuk masyarakat lokal. Sementara perusahaan besar pelaku pembakaran hutan dibiarkan.
“Adalah tindakan yang over-acting dari Negara terhadap masyarakat peladang dengan menghukumnya hanya karena membakar ladangnya sebagai tradisi bertani,” ungkap Sani Lake saat dihubungi beritasampit.co.id. Rabu, 4 Maret 2020.
Sani Lake menyampaikan masyarakat international sadar, bahwa tradisi berladang adalah salah satu sumber pengetahuan local (traditional knowledge) yang dipelihara.
UN Permanen Forum 2019 (NY, 22 April-3 Mei 2019) menegaskan perlunya merawat sumber-sumber pengetahuan local tersebut. Karena dari sana masyarakat secara turun temurun mengajarkan bagaimana berinteraksi secara ramah dan arif dengan alam.
Karena arif, maka masyarakat lokal tau jika membakar harus mengaturnya seperti apa supaya api tidak menyebar.
“Tuduhan demi tuduhan yang diarahkan kepada masyarakat peladang selama ini hanyalah bentuk dari aksi ‘seolah-olah’ menerapkan aturan yang nyatanya diskriminatif oleh Negara, dan ini jelas pelanggaran HAM,” tutup Fr Sani Lake.
(NA/beritasampit.co.id)