Sikap Toleransi Wali Songo Jadi Teladan Pengamalan Nilai Kebangsaan

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat melaksanakan sosialisasi Empat Konsensus Kebangsaan dengan tema 'Posisi Pesantren dalam Menjaga Ideologi Kebangsaan dan Ekonomi Umat di Masa Pandemi' yang digelar secara daring di Pondok Pesantren Fathul Huda Demak, Jawa Tengah, Jumat (27/11/2020). Dok: Istimewa

JAKARTA– Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat (Rerie) mengatakan bahwa sikap toleransi yang diajarkan Wali Songo harus menjadi teladan dalam penerapan nilai-nilai kebangsaan di masa kini dan akan datang.

Rerie mengatakan hal itu saat melaksanakan sosialisasi Empat Konsensus Kebangsaan dengan tema ‘Posisi Pesantren dalam Menjaga Ideologi Kebangsaan dan Ekonomi Umat di Masa Pandemi’ yang digelar secara daring di Pondok Pesantren Fathul Huda Demak, Jawa Tengah, Jumat (27/11).

Hadir sebagai pemateri yakni pengasuh pondok pesantren Fathul Huda Sayung, Kabupaten Demak, KH. Zainal Arifin Ma’shum, KH. Dr. Ali Masykur Musa, M.Si, M.Hum (Ketua Umum PP Ikatan Sarjana NU) dan Ulil Abshar Abdalla (Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia) sebagai narasumber.

“Nilai-nilai toleransi yang diterapkan oleh Wali Songo menghadirkan proses penyebaran Islam di Jawa berlangsung damai dan terjadi akulturasi,” tandas Rerie.

Politisi nasDem itu mengatakan salah satu upaya untuk mempertahankan negara ini adalah dengan memperkuat nilai-nilai kebangsaan salah satunya toleransi yang dicontohkan para Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Air.

BACA JUGA:   Teras Narang: Perubahan atas Undang-undang Paten merupakan Keniscayaan

“Nilai-nilai toleransi dijunjung tinggi dan dijaga oleh para wali, sehingga Islam dapat diterima oleh semua orang,” ungkap Rerie.

Bahkan, lanjut Rerie, saat nilai-nilai kebangsaan itu juga terkandung dalam empat konsensus kebangsaan seperti Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945.

Pengasuh Pondok Pesantren Fathul Huda, Sayung, Kabupaten Demak, KH. Zainal Arifin Ma’shum mengajak masyarakat mengikuti jejak para ulama dan aulia yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi di Tanah Air.

“Tanah Air kita ini karunia yang sangat besar. Karena itu kita harus pertahankan negara ini dengan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan yang diwariskan para pendahulu kita,” imbuh Arifin Ma’shum.

Ketua Umum PP Ikatan Sarjana NU, KH. Ali Masykur Musa menegaskan bahwa para santri harus memiliki pandangan bernegara yang sejalan dengan sikapnya dalam beragama.

BACA JUGA:   Komisi VII DPR RI Mendesak Kementerian ESDM Kaji Ulang PJUTS yang Bermasalah

“Kemandirian ekonomi di kalangan pesantren, harus diwujudkan agar para santri bisa mandiri secara ekonomi dan mengambil peran dalam bernegara,” kata Ali Masykur Musa.

Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Ulil Abshar Abdalla mengungkapkan bahwa, pembentukan negara Indonesia dipengaruhi oleh dua sejarah yaitu sejarah sejumlah agama dan sejarah Nusantara.

Menurut Ulil, sejak masa lalu Indonesia sudah dipengaruhi peradaban multikultural.
Kerajaan Sriwijaya di masa jayanya sempat menjadi pusat pengembangan agama Budha.

Demikian juga dengan Kerajaan Majapahit (Hindu-Budha), Kerajaan Islam Samudra Pasai dan sejumlah kerajaan di Nusantara lainnya.

“Sehingga, sejarah bangsa kita jangan hanya dilihat dari tahun 1945 saja. Namun, kita harus melihat sejarah bangsa Indonesia sejak abad ke-7 saat Kerajaan Sriwijaya menguasai Asia Tenggara,” pungkas Ulil.

(dis/beritasampit.co.id)