Wakil Ketua MPR Ajak Masyarakat Kawal Pembahasan RUU PKS

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat (dok pribadi).

JAKARTA– Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat (Rerie) mengajak seluruh masyarakat untuk ikut mengawal proses pembuatan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) untuk disahkan DPR dan pemerintah.

Menurut Rerie fraksi nasDem selalu melakukan sejumlah lobi ke anggota DPR dan fraksi DPR untuk meloloskan RUU ini sebagai Undang-undang (UU).

“Kami sekarang berupaya menggalang dukungan lintas partai untuk RUU PKS ini. Dukungan yang sama, kami harapkan dari masyarakat,” ujar Rerie saat menjadi narasumber dalam diskusi secara daring bertema Kawal RUU PKS, ‘Gerak Bersama Lindungi Generasi’, Kamis (10/12/2020).

Rerie mengatakan masyarakat juga mestinya memperkuat pemahaman tentang isi dan manfaat RUU PKS kepada masyarakat yang tidak sependapat dengan RUU PKS tersebut.

BACA JUGA:   Integrasi Tiktok Tokped Untungkan UMKM, Ini Kata Anggota Komisi VI DPR RI

Rerie bilang problem yang dihadapi dalam proses pembuatan UU Penghapusan Kekerasan Seksual salah satunya adalah belum ada pemahaman publik yang luas terhadap rancangan Undang-undang tersebut.

“Salah satu penyebab terhambatnya RUU PKS menjadi undang-undang adalah karena pemahaman yang salah terhadap sejumlah pasal di dalamnya,” kata Rerie.

Padahal, menurutnya isi dari RUU PKS itu bukan hanya untuk kepentingan perempuan semata, tetapi merupakan perangkat hukum untuk melindungi seluruh warga negara Indonesia.

Menurut Koordinator Divisi Perubahan Hukum LBH APIK, Dian Novita, penanganan kasus kekerasan seksual akan menghadapi kesulitan ketika memasuki proses hukum.

BACA JUGA:   Legislator Golkar Apresiasi KPU RI Laksanakan Pemilu 2024 Dengan Damai

Catatan LBH APIK, dari 46 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak, hanya tujuh kasus yang sampai pada proses hukum. Selain itu, dari 103 kasus kekerasan seksual terhadap orang dewasa hanya 8 kasus yang masuk ke proses hukum.

Sementara, Psikolog Klinis Yayasan Pulih, Gisella Tani Pratiwi mengaku bahwa tindakan pelecehan tanpa kontak fisik juga sulit ditindaklanjuti, seperti pemaksaan aborsi dan pemaksaan perkawinan.

“Belum ada hukum yang mengatur pelanggaran jenis kekerasan tersebut. Bagaimana masyarakat bisa merasa aman,” kata Gisella.

(dis/beritasampit.co.id)