Gapki Kalteng Keluarkan Statemen Terkait Keadaan Sawit Saat Ini

MUHAMMAD IBRAHIM / BERITA SAMPIT - Sekretaris eksekutif Gapki Kalteng Halind (tengah) didampingi Gapki Kalteng T Kana (kiri) dan Sigit Widodo (kanan) saat diwawancarai di kantor cabang Palangka Raya.

PALANGKA RAYA – Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia merupakan bagian dari strategi pembangunan sektor pertanian dan pembangunan pedesaan yang menjunjung tinggi prinsip keberlanjutan yaitu aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.

Oleh sebab itu mendesak para investor dan para pelaku usaha perkebunan Kelapa Sawit membutuhkan kepastian berusaha dan keamanan dalam melakukan kegiatan investasi untuk menjalankan usahanya secara berkelanjutan sehingga dunia usaha dan ekonomi lokal mengalami peningkatan secara signifikan.

Sumbangan industri Kelapa Sawit terhadap perekenomian nasional sangat signifikan, pada tahun 2021 total nilai ekspor mencapai Rp451,8 triliun (belum termasuk pajak ekspor dan levy).

Hal itu membuat, industri sawit penghasil devisa terbesar bahkan mengalahkan sektor migas. Selain hal tersebut, industri sawit juga menggantikan penggunaan bahan bakar fosil sebanyak 8.4 juta Kiloliter melalui program mandatori B30 dan benghasil menghemat devisa kurang lebih Rp38 triliun.

Provinsi Kalimantan Tengah termasuk dalam Perkebunan Kelapa Sawit terbesar di Indonesia saat ini. Pertumbuhan ekonomi sektor industri sawit terbilang sangatlah cepat berkembang ditambah lagi dengan issue penggunaan bahan bakar ramah lingkungan yang salah satunya berada pada sektor perkebunan kelapa sawit sebagai bahan bakar biodiesel. Kecendrungan stabiltas harga dan stabilitas pertumbuhan yang terus naik membuat sektor perkebunan kelapa sawit menjadi primadona.

Saat ini luas total Perkebunan Sawit di Indonesia mencapai 16.381.959 Ha (data SK Mentan Nomor 833 Tahun 2019), dari luas tersebut sekitar 42 persen atau 7.62 juta Ha dimiliki oleh Pekebun Sawit. Sehingga pemerintah perlu membuat kebijakan yang lebih strategis dan berkelanjutan yang berpihak kepada dunia usaha dengan tidak mengesampingkan pertumbuhan perekonomian masyarakat utamanya yang ada di sekitar perkebunan, sehingga menciptakan iklim usaha yang aman dan kondusif serta menjamin keberlangsungan usaha dan peningkatan ekonomi masyarakat. Hal itu terlihat dari industri sawit yang menyerap tenaga kerja langsung sekitar 4.2 juta orang, dan lapangan kerja tidak langsung yang tersedia dari industri sawit sebanyak 12 juta orang.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas ada beberapa regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka membina dan menyentuh kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diarahkan kepada usaha usaha yang menciptakan kemitraan strategis antara perusahaan baik usaha besar, usaha menengah dan usaha kecil/koperasi yang harus bersinergi, saling menguntungkan dan menguatkan masing-masing pihak.

Untuk tujuan tersebut pemerintah telah membuatkan dan menerbitkan regulasi sebagai berikut :

1. Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang “Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan” sebagai tindak lanjut Undang Undang no 18 tahun 2004 jo no 39 tahun 2014. Pada pasal 11, perusahaan perkebunan yang memiliki IUP/IUP-B wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas kebun yang diusahakan oleh perusahaan (terkait hal tersebut sudah dijelaskan dengan surat DirJenbun bahwa 20% tersebut tidak didalam HGU atau Ijin Lokasi/IUP yang dimiliki perusahaan).

BACA JUGA:   Dukung Hilirisasi Industri, Mukhtarudin Minta Seluruh Proyek Strategis Nasional Dipercepat

2. Sesuai dengan perkembangan Permentan RI Nomor 26 Tahun 2007 direvisi lagi dengan Permentan RI nomor 98 tahun 2013 tentang “Perizinan Usaha Perkebunan” dalam pasal 15 ayat 1 perusahaan perkebunan yang mengajukan IUP-B atau IUP dengan luas 250 Hektar atau lebih berkewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar denngan luasan paling kurang 20% dari luas areal IUP/IUP-B. Khusus ayat 5 masyarakat sekitar yang layak sebagai peserta sebagaimana dimaksud pada ayat 4 ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan usulan dari Camat setempat.

3. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengakibatkan perlunya tindak regulasi terhadap ketentuan dalam Undang Undang, Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri yang dianggap banyak menimbulkan masalah dan multi tafsir terhadap pasal dan ayat tertentu yang ditetapkan sebelumnya khususnya bidang Perkebunan (Undang Undang Nomor 39 Tahun 2014). Khusus untuk bidang Pertanian termasuk didalamnya Perkebunan regulasi yang diterbitkan atas dasar Undang Undang Cipta Kerja adalah ;

a. Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2021 dalam Pasal 12 menyatakan sebagai berikut :

1. Perusahaan Perkebunan yang mendapatkan perizinan berusaha untuk budidaya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari :

a. Area penggunaan lain yang berada diluar HGU; dan/atau
b. Area yang berasal dari pelepasan kawan hutan, wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 20% (dua puluh persen) dari luas lahan tersebut.

2. Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak lahan untuk usaha perkebunan diberikan HGU.

b. Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2021 dalam Pasal 14 menyatakan sebagai berikut :
1 Fasilitasi pembangunan kebun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diberikan kepada masyarakat sekitar yang tergabung dalam kelembagaan pekebun berbasis komoditas perkebunan.
2. kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Berupa :
a. kelompok tani;
b. gabungan kelompok tani;
c. Lembaga ekonomi petani; dan/atau
d. koperasi.

c. Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2021 dalam Pasal 16 menyatakan “ Fasilitasi Pembangunan kebun sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) dapat dilakukan melalui : a. pola kredit; b. pola bagi hasil; c. bentuk pendanaan lain yang disepakati para pihak; dan/atau d. bentuk kemitraan lainnya.

Selanjutnya Pada Pasal 21 angka (3) Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2021 menyatakan “ kegiatan usaha produktif perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan pembiayaan minimal setara dengan nilai optimum produksi kebun di lahan seluas 20% (dua puluh persen) dari total areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan”. Sehingga dalam melaksanakan ketentuan pemerintah dalam fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dapat juga dalam berbagai bentuk sebagaimana diatur dalam ketentuan diatas.

BACA JUGA:   Kalteng Ramadan Festival 1445 Hijriah Resmi Ditutup

e. Dalam rangka pelaksanaan dan/atau teknis dari fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar (FPKMS) sebesar 20 persen telah dikeluarkan dan diatur dalam Permentan RI nomor 18 tahun 2021 tentang Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar.

“Bagi kebun yang dibangun setelah tahun 2007, namun belum punya plasma dan sulit mendapatkan lahan telah diberikan solusi oleh pemerintah, melalui kegiatan kemitraan dalam bentuk lain seperti kegiatan penyediaan hewan ternak/bibit ternak atau budidaya perikanan,” ucap Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau Gapki Cabang Palangka, Dwi Dharmawan diwakili oleh Sekretaris eksekutif Gapki Halind,  Rabu 19 Oktober 2022.

Ia melanjutkan sebelum tahun 2007 memang tidak ada kewajiban karena telah medapatkan tugas untuk melaksanakan program Perkebunan Inti rakyat (PIR) seperti PIR Bun, PIR Trans, PIR KKPA, dan Revitalisasi Perkebunan. Jadi banyak perusahaan sawit telah membangun plasma melalui program tadi.

Sedangkan dalam Pasal 7 di Permentan Nomor 18 tahun 2021 menyebutkan bahwa bentuk kemitraan lainnya dilakukan pada kegiatan usaha produktif perkebunan diantaranya, di subsistem hulu, subsistem kegiatan budi daya, subsistem hilir, subsistem penunjang, fasilitasi kegiatan peremajaan tanaman perkebunan masyarakat sekitar, dan/atau bentuk kegiatan lainnya.

“Kemitraan lainnya tersebut dilaksanakan berdasarkan nilai optimum yang akan ditetapkan secara berkala oleh Direktur Jendral Perkebunan. Untuk itu, setelah ditetapkan nilai optimum tersebut, diharapkan pelaksanaan kemitraan dapat dijalankan dengan maksimal,” tandasnya.

Dari penjelasan tersebut Halind yang didampingi oleh pengurus Gapki Kalteng T Kana, Sigit Widodo dan Iwan Kusnandar berharap akan ada pemahaman dan persamaan persepsi antara satuan unit kerja di pemerintahan baik pusat maupun daerah, pelaku usaha sawit dan masyarakat sekitar yang akan menerima manfaat dari adanya kemitraan lainnya.

“Dengan demikian, strategi pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat terkhusus masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit dapat terwujud melalui peraturan yang telah di tetapkan oleh pemerintah. Saat ini diperlukan adanya dorongan dan dukungan dari berbagai pihak untuk sama-sama memahami proses dan teknis terkait pelaksanaan dari program tersebut. Dengan harapan proses investasi dan keberlanjutan pelaku usaha dapat terus berjalan dengan baik dengan dukungan dari Pemerintah dan Masyarakat sekitar untuk mewujudkan pemerataan pertumbuhan di daerah,” pungkasnya.(im)