Masa Jabatan Kepala Desa Hambat Demokrasi dan Berpotensi Koruptif

Diskusi forum Legislasi di Media Center Parlemen Senayan Jakarta Selasa 18 Juli 2023. Foto: beritasampit/ Adista Pattisahusiwa.

JAKARTA– Wacana masa jabatan kepala desa selama sembilan tahun dalam Rancangan Undang-undang Desa dinilai merusak tatanan demokrasi akibat terlalu lamanya sirkulasi kepemimpinan, karena berpotensi menciptakan pemerintahan yang koruptif di desa.

Demikian disimpulkan dalam diskusi forum Legislasi di Media Center Parlemen Senayan Jakarta Selasa 18 Juli 2023.

Dialog dengan tema “Apakah RUU Desa akan Membawa Kesejahteraan?”, itu dihadiri Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Achmad Baidowi, Politisi PKS Mardani Ali Sera serta mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan.

“Saya menilai UU Nomor VI/2014 tentang masa jabatan kepala desa enam tahun dan boleh tiga kali masa jabatan, yang sebelumnya selama dua kali, itu blunder. Ini akan menghambat sirkulasi kepemimpinan karena terlalu lama dalam masa jabatan,” ujar Djohermansyah Djohan.

Dia mengatakan semakin lama masa jabatan satu kepemimpinan maka akan ada kecenderungan koruptif.

BACA JUGA:   Polri Siap Amankan Rumah Kosong Saat Periode Mudik Lebaran 2024

“Sedangkan pada sisi lain hal itu akan menimbulkan tersendatnya kaderisasi kepemimpinan,” tandas Djohermansyah.

Djohermansyah menilai pemilihan kepala desa seharusnya tidak perlu seragam di seluruh Indonesia. Masa pemilihannya juga tidak harus serentak. Pasalnya, setiap desa memiliki karakter masing-masing selain punya kearifan lokal.

“Penyelenggaraan pemerintahan desa diatur cenderung seragam, padahal desa-desa beragam,” kata Djohermansyah.

Selain itu, lanjut dia, dalam RUU Desa yang ada saat ini, penyelenggaraan pembangunan juga sangat teknokratis selain rumit dengan segala Peraturan Desa (Perdes) dan Anggaran Pembangunan dan Belanja Desa (APBDes) yang ada.

Untuk itu, dirinya menyarankan mesti ada pola “musyawarah untuk mufakat” dalam pemilihan kepala desa, seperti yang selama ini menjadi ciri khas di sejumlah daerah.

“Cara pemilihan itu bisa dijadikan sebuah pilihan dalam RUU Desa. Pasalnya, sistem pemilihan itu tidak menghabiskan banyak biaya selain tidak memecah-belah warga desa dalam kubu-kubuan,” pungkas Djohermansyah Djohan.

BACA JUGA:   Jakarta Tetap Menjadi Daerah Khusus Meski RI Sudah Pindah Ibukota

Sementara itu, Achmad Baidowi mengakui bahwa permainan politik di desa akibat pemilihan langsung sangat berdampak pada keamanan hidup di desa.

“Tidak jarang usai Pilkades dampak benturan sosial dan kerusuhan masih ada sekitar tiga sampai empat tahun untuk mencapai konsolidasi lagi,” tutur Baidowi.

Dia mencontohkan peristiwa terakhir di Kabupaten Bangkalan, Madura. Menurutnya, Pilkades terbaru di desa itu sampai menimbulkan gesekan sosial berupa kerusuhan. Bahkan sampai ada yang meninggal dan ada anggota DPRD yang diduga terlibat gara-gara mendukung salah satu calon kepala desa.

“Gesekan sosial dalam perhelatan Pilkades itu bukan hanya sekali dua kali, tapi terus berulang setiap terjadi pemilihan kepala desa,” pungkas Ahmad Baidowi.

(adista)