Demi Kemanusiaan Bagi Korban “RUU PKS Masuk Prolegnas 2021”

Pdt. Merilyn dan Pdt. Evi Nurleni memberi pesan stop kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.

Penulis: Pdt. Merilyn dan Pdt. Evi Nurleni (Badan Pengurus Daerah Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi (PERUATI) Kalteng).

DALAM pemahaman Kristen, Allah dikenal penuh kasih sayang. Allah dengan jelas menetapkan aturan berkaitan dengan hak segala makhluk (misalnya dalam Keluaran 21-23). Artinya tindakan kekerasan dan pengabaian hak terhadap segala makhluk yang terjadi adalah perlawanan terhadap perintah Allah. Secara khusus dalam kaitan dengan kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan; sejarah Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru mencatat banyak kisah, di mana perempuan seringkali menjadi korban.

Tentu saja kisah-kisah ini terjadi dalam konteks dominasi laki-laki atau budaya patriarki yang ada di masa itu. Meskipun Allah selalu digambarkan maskulin, namun Ia digambarkan sebagai Pribadi yang berbela-rasa terhadap ketidakadilan yang terjadi. Yesus Kristus diutus Allah ke dalam dunia dengan misi untuk mengabarkan keadilan dan kebenaran bagi dunia, termasuk keadilan dan kebenaran bagi kaum tertindas, di mana perempuan ada di dalamnya. Ia digambarkan memperjuangkan keadilan dan kesetaraan bagi kaum tertindas.

Sebagai komunitas perempuan yang berlatar belakang pendidikan teologi, PERUATI (Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia) Kalimantan Tengah selain melakukan kajian-kajian ilmiah dibidang teologi dengan perspektif feminis. Peruati Kalteng juga memberi perhatian kepada hak-hak asasi kaum yang terdiskriminasi, secara khusus dalam isu kekerasan seksual. PERUATI Kalimantan Tengah turut mengecam tindakan pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran kristiani.

BACA JUGA:   Berdiri Tahun 1961 dengan Modal Dasar Rp10 Juta, Bank Kalteng Sekarang Berhasil Menumbuhkan Aset Sampai Rp15,19 Triliun (Bagian 01)

Sejauh yang kami ketahui, kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kalimantan Tengah sering terjadi. Bahkan di Kota Palangka Raya saja, berdasarkan data tahun 2017 terdapat 200 an kasus yang tercatat (dilaporkan). Tentu masih banyak kasus lain yang terjadi, tetapi “didiamkan” saja alias tidak dilaporkan.

Kondisi ini biasanya didorong beberapa hal, pertama, karena pihak korban mengalami tekanan sehingga takut melaporkan. Kedua, kasus ini dianggap aib sehingga pihak korban tidak ingin dipermalukan dengan melaporkannya. Ketiga, terdapat relasi kuasa, dimana korban berada di bawah asuhan sehingga tidak berani membicarakannya. Keempat, stigma masyarakat terhadap korban; korban sering dianggap sebagai yang bersalah, direndahkan dan dipojokkan.

Namun perlu juga kita catat, bahwa terdapat penanganan kasus yang patut diacungi jempol, di mana para pelaku pelecehan dan kekerasan seksual tidak dibiarkan bebas berkeliaran, tetapi ditangani secara hukum dan pelaku dipidana. Tentu saja penanganan seperti ini bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Di samping itu menyadarkan kepada masyarakat bahwa kasus pelecehan dan kekerasan seksual adalah kejahatan yang layak mendapat hukuman.

Sebagaimana kami ketahui, bahwa Universitas Palangka Raya (UPR) merupakan satu-satunya Lembaga Pendidikan Tinggi di Kota Palangka Raya yang dengan tegas mempidanakan pelaku pelecehan seksual beberapa waktu lalu.

Tindakan itu patut diapresiasi sebagai bentuk perlawanan lembaga pendidikan terhadap bentuk kekerasan terhadap perempuan. Tindakan UPR sudah semestinya menjadi role model bagi semua institusi pendidikan yang ada di Kota Palangka Raya, baik di tingkat dasar, menengah, tinggi dan institusi pemerintah dan swasta.

BACA JUGA:   Bukan Hanya Ada  di Cirebon, Musik Obrog-Obrog Pembangun Sahur Ternyata Juga Ada di Kota Kumai, Kotawaringin Barat

Dalam penanganan kasus pelecahan dan kekerasan seksual, pemidanan terhadap pelaku tidaklah dianggap selesai. Terdapat hal yang lebih penting, yakni penanganan dan pemulihan terhadap korban yang acapkali diabaikan. Ini juga menjadi fokus perhatian PERUATI Kalimantan Tengah di mana korban harus didampingi dan dipulihkan baik secara fisik, mental, dan spiritual. Tindakan pemulihan terhadap korban adalah tindakan kemanusiaan, sebagai wujud kasih kepada sesama.

Namun sangat disayangkan, seringkali putusan pengadilan terhadap pelaku pelecehan dan kekerasan seksual dipidanakan lebih rendah dari tuntutannya. Hal ini disebabkan karena payung hukum untuk tindak pidana kekerasan seksual yang secara khusus belum memadai.

Oleh sebab itu, salah satu kerja PERUATI Kalimantan Tengah bersama dengan banyak organisasi perempuan Indonesia yakni mendorong Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali dimasukkan dalam Prolegnas 2021.

Dalam hal ini, kami memberi apresiasi untuk kerja keras para anggota legislatif yang terus berjuang juga untuk pengesahan RUU PKS ini. Semoga kepentingan RUU PKS ini bagi hak asasi dan kemanusiaan perempuan (korban) bisa dipahami merata oleh para pengampu kebijakan.

Salam Peruati. Tajam Menatap, Peka Merasakan. Berani Bertindak.