Dinilai Bertentangan, SPB Desak Permen PPKS Dicabut

Ilustrasi RUU PKS

JAKARTA– Ketua Organisasi masyarakat dan bantuan hukum “Sahabat Peradaban Bangsa (SPB)”, Aan Rohanah, mengkritisi Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permen Pencegahan dan Penanganan KS).

Kritikan tersebut, disampaikan dalam pernyataan sikapnya yang diterima Wartawan, Jumat (5/11/2021).

Aan Rohana mengatakan permen tersebut, sepantasnya sejalan dengan keyakinan keberagaman semua agama yang dianut di Indonesia, dan memperhatikan ajaran Islam sebagai agama terbesar yang dianut warga negara Indonesia.

Dia mengatakan hal itu, terkait adanya sejumlah pasal yang dinilai bertentangan dengan keyakinan sebagian besar umat Islam, baik yang disampaikan dalam Naskah Akademik, maupun Draft UU-PKS-nya.

Karena itu, untuk meminimalisir kontroversi RUU PKS, tersebut, SPB mengusulkan Naskah Akademik dan draft rancangan alternatif atas draft RUU P-KS yang pernah ada, maupun draft RUU P-KS yang diusulkan oleh Badan Legislatif DPR RI, dengan mempertimbangkan masukan dari organisasi masyarakat, jaringan pemerhati korban dan organisasi bantuan hukum dengan tujuan mengurangi penolakan masyarakat.

Sebagaimana diketahui, saat ini Baleg DPR RI masih membahas RUU P-KS dan sedang menerima masukan dari berbagai pihak, masyarakat, ahli dan kelompok lainnya.

“SPB merasa dikejutkan dengan keluarnya Permen Pencegahan dan Penanganan KS yang menurut kami terlalu tergesa-gesa, dan isinya tidak jauh berbeda dengan draft RUU PKS, dimasa awal pembahasan yang diajukan oleh salah satu lembaga yang mendapat penolakan oleh berbagai kelompok masyarakat dan elemen bangsa,” ujar Aan Rohanah.

Dengan kemiripan isi pengaturan dalam draft RUU P-KS dengan klausul di Permen Pencegahan dan Penanganan KS, SPB meminta Permen tersebut dicabut.

“Dengan alasan-alasan sebagai berikut: Pada bagian Menimbang poin b., Pasal 1 ayat (1), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,” katanya.

Pasal-pasal tersebut, katanya, kesemuanya membahas:
a. Bahwa Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang ini mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia;

c. Bahwa tujuan pendidikan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia;

d. Bahwa Penyelenggaraan Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa;

e. Bahwa Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;

Dan SPB mendapati Permen Pencegahan dan Penanganan KS mengabaikan semua hal berkait iman dan takwa, dan mempertahankan Prinsip Sexual Consent (seks bebas), sehingga SPB merasa amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini tidak dijalankan.

Padahal seharusnya Bapak Menteri mengatur larangan Sexual Consent (seks bebas) di Perguruan Tinggi, tanpa memperhatikan usia, dan bukan malah membuka peluang pembiaran Sexual Consent (seks bebas).

SPB juga sepakat korban kekerasan seksual harus dilindungi dan perkaranya ditangani. Tetapi SPB tidak sepakat dengan defenisi kekerasan seksual dalam Pasal 1 ayat (1) “Permen Pencegahan dan Penanganan KS” yang mengutip defenisi kekerasan seksual dalam draft pertama RUU-PKS yang berbunyi sama, yaitu: “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.”

BACA JUGA:   Keterwakilan 30 Persen Perempuan di Parlemen Masih Sebatas Asa, Legislator Golkar Bilang Begini!

Penggunaan relasi kuasa dan relasi gender dalam defenisi di Pasal tersebut, tidak berdasarkan Pancasila, dan diambil dari konstruksi pemikiran Barat seperti Marxisme yang bertentangan dengan fitrah penciptaan manusia. Tuhan secara tegas hanya menciptakan dua jenis kelamin (sex), lelaki dan perempuan.

Sementara penggunaan istilah gender adalah kebebasan memilih orientasi seksual dari jenis kelamin yang sebenarnya, dan ini tidak dapat diterima oleh sebagian besar penganut agama Islam, sebagai agama mayoritas di Indonesia.

Konsep gender bertentangan dengan Sila Pertama Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dengan moralitas ketimuran di Indonesia.

Dalam Pasal 2, Permen Pencegahan dan Penanganan KS, terkait tujuannya disebutkan: “Untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus di Perguruan Tinggi.”

Pasal ini mengabaikan Tujuan Pendidikan Tinggi, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi yang,

– mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan akhlak mulia;

– mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan

– berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia.

Keberpihakan pada nilai kemanusiawiaan yang belum tentu ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, dijadikan tujuan. Padahal UU telah menetapkan meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan akhlak mulia; lebih diutamakan.

Jika mahasiswa tidak memiliki keimanan dan takwa, maka sia-sialah semua ilmunya, karena tidak akan ada yang menjadikannya manusia yang berakhlak mulia. Artinya Permen Pencegahan dan Penanganan KS ini bertentangandengan Undang-Undang yang terkait diatasnya.

Dalam Pasal 3 Permen Pencegahan dan Penanganan KS yang mengatur bahwa: Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilaksanakan dengan prinsip:

a. kepentingan terbaik bagi Korban;
b. keadilan dan kesetaraan gender;
c. kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas;
d. akuntabilitas;
e. independen;
f. kehati-hatian;
g. konsisten; dan
h. jaminan ketidakberulangan;

Permen Pencegahan dan Penanganan KS, kata Aan, juga mengabaikan prinsip ketuhanan dan ketakwaan. Padahal SPB meyakini bahwa salah satu pencegah terjadinya KS adalah terintegrasinya nilai iman dan takwa pada semua komponen Pendidikan Tinggi.

Sementara di Pasal 5 ayat (3) poin a, Permen Pencegahan dan Penanganan KS bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan moralitas, dimana dinyatakan:

“Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban: a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;”

Pasal ini dapat dimaknai secara a-contrario: “jika dengan “Persetujuan” dan “jika sudah usia dewasa” (berusia diatas 18 tahun) hal tersebut “dibolehkan”, “dianggap sah.” Padahal tujuan Pendidikan Tinggi adalah menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa.

“Bagaimana mungkin menteri pendidikan mengeluarkan peraturan yang katanya untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual, tetapi memberikan peluang untuk melakukan perzinahan, seks sesama jenis. Karena pasal ini dapat dimaknai seseorang yang berusia
dewasa dan memberikan persetujuannya untuk melakukan seks bebas, maka hal tersebut dianggap bukan kekerasan seksual,” katanya menambahkan.

BACA JUGA:   Pembangunan Pendidikan Penting Guna Optimalkan Bonus Demografi

Di Pasal 6 ayat (1) poin a, Permen Pencegahan dan Penanganan KS menyebutkan:

1) Perguruan Tinggi wajib melakukan Pencegahan Kekerasan Seksual melalui:
a. pembelajaran

2) Pencegahan melalui pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi dengan mewajibkan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan untuk mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh Kementerian.

3) Pencegahan melalui penguatan tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri atas:

a. merumuskan kebijakan yang mendukung Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi;

b. membentuk Satuan Tugas;

c. menyusun pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual;

d. dst..

4) SPB sangat mengkhawatirkan pencegahan pembelajaran yang dimaksud dalam Pasal 6 ini;

(1) Materi apa yang diatur dalam Modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh Kementerian? Mengingat selama ini Comprehensive Sexuality Education (CSE) sebagai bagian yang selalu terikat dengan Model Pencegahan dan Penangangan Kekerasan Seksual menggunakan Paradigma Barat, bukan nilai iman dan takwa;

(2) Ayat (3) Pasal 6 ini mengaitkan dengan pembentukan Satuan Tugas, dimana syarat yang dapat menjadi Panitia Seleksi Pendamping Korban sebagaimana disebut dalam Pasal 23 ayat (2), menyebutkan bahwa: “Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk pertama kali melalui panitia seleksi.”

(3) Dan Pasal 24 mengatur syarat Anggota Panitia Seleksi diantaranya sebagai berikut:
a. pernah mendampingi Korban Kekerasan Seksual;
b. pernah melakukan kajian tentang Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas;
c. pernah mengikuti organisasi di dalam atau luar kampus yang fokusnya di isu Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas; dan/atau
d. dst…

(4) Pasal 26 menyatakan, Panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 mempunyai tugas:
a. menyusun petunjuk teknis seleksi anggota Satuan Tugas;
b. melaksanakan seleksi anggota Satuan Tugas; dan
c. merekomendasikan anggota Satuan Tugas kepada Pemimpin Perguruan Tinggi untuk ditetapkan.

Syarat poin b dan c Pasal 24 dan Pasal 26, mengunci kesempatan kelompok lain untuk menjadi Panitia Seleksi, yang dalam Pasal-Pasal ini hanya boleh menjadi Panitia Seleksi jika berasal dari kelompok Mahasiswa yang pro “Gender”.

Sementara Calon Panitia Seleksi yang sekalipun aktif mendampingi korban kekerasan seksual, tetapi berbeda pandangan soal Gender, dan tidak melakukan Kajian Gender, akan tereliminasi untuk menjadi Panitia Seleksi, dan otomatis tidak akan memilih Pendamping yang dapat dan terbiasa melakukan pendampingan dengan mengusung nilai-nilai
Ketuhanan.

Ini suatu diskriminasi yang akan berdampak tidak adanya peran agama dalam mengatasi Kekerasan Seksual.

Untuk menjadi Pendamping Korban di Perguruan Tinggi, hanya mereka yang memiliki visi dan misi yang sama dengan Panitia Seleksi, yang akan dipilih, padahal belum tentu Panitia Seleksi dan Pendamping yang dipilih membawa visi misi beriman dan bertakwa, mengingat Prinsip Sexual Consent (seks bebas) masih tersirat dalam “Permen Pencegahan dan Penanganan KS” dan dalam Materi Ajarnya.

“Semua alasan-alasan tersebut diatas, kami SPB yang terdiri dari 19 Ormas Perempuan dan Organisasi Bantuan Hukum secara tegas meminta kepada Bapak Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset Dan Teknologi Republik Indonesia untuk mencabut Peraturan tersebut,” imbuhnya.

Menurut dia, pernyataan sikap SPB ini, semata ditujukan untuk menjaga nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membentuk Pemerintah, masyarakat, pendidik, peserta didik, tenaga Kependidikan yang menjalankan amanat Undang-Undang.

(dis/beritasampit.co.id)