Menyoal Pernyataan Sekwan DPRD Kotim

Wira Prakasa Nurdia Anggota MD Kahmi Kotim.

Oleh: Wira Prakasa Nurdia
Anggota MD Kahmi Kotim

Jika anda berselancar dan mengetik situs DPRD Kotawaringin Timur pada kolom peramban, maka anda tidak akan menemukan informasi apapun, alias nihil. Saya bahkan kesulitan untuk mengakses informasi mengenai jumlah dan profil dari wakil rakyat kita. Padahal, hak atas informasi publik dijamin oleh Undang-Undang (UU) dan menjadi salah satu prasyarat penting lagi penguatan sistem demokrasi kita, lebih-lebih ini menyangkut lembaga formal yang menyandang nama perwakilan rakyat. Tata kelola komunikasi yang buruk ini hanyalah salah satu tamsil kecil dari sengkarut persoalan yang melilit DPRD kita akhir-akhir ini. Dimulai dari pemborosan anggaran, ketidaktransparan, hingga Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) yang diklaim sebagai rahasia.

Adalah Bima Eka Wardana, Sekretaris (Sekwan) DPRD Kotim yang tempo hari pada media lokal berujar bahwa DPA bersifat confidential, rahasia negara, karenanya harus dijaga ketat dan tak boleh satupun ada yang mengetahui, apalagi masyarakat. Pernyataan ini kemudian viral dan banyak menimbulkan kontroversial. Namun ia berdalih bahwa kerahasiaan tersebut bukan karena pihaknya tidak transparan, melainkan menjaganya agar tidak jatuh ke tangan yang salah (Beritasampit, 18/09/23).

Absennya Prinsip Transparansi

Menyatakan bahwa DPA bersifat rahasia dan publik tidak memiliki hak untuk mengetahui adalah pernyataan yang kurang berdasar. UU Keterbukaan Informasi Publik, sebagaimana yang sudah disinggung Advokat Nurrahman Ramadhani, tidak menyebutkan bahwa DPA sebagai dokumen yang bersifat rahasia, sebaliknya ia harus diungkap ke publik, transparan, sebagaimana tuntutan dari agenda besar reformasi. Sebagai contoh, saya dengan mudah mengakses DPA DPRD dari Kabupaten Sleman di sebuah website dan bisa diunduh secara bebas, semua informasi ditampilkan secara terang benderang, tidak ada kerahasiaan. Bahkan DPA ditampilkan lengkap dengan dokumentasi kegiatan-kegiatan DPRD, hingga terdapat fitur jajak pendapat terkait kelengkapan informasi.

BACA JUGA:   Namanya Masuk Bursa Calon Bupati Kotim,  Siyono: Saya Berdoa Harati Dua Periode

Artinya, pemerintah kabupaten tersebut tidak hanya menerapkan prinsip akuntabilitas, namun juga melibatkan partisipasi masyarakat dengan membuka ruang diskusi serta menyediakan saluran untuk menampung masukan-masukan. Prinsip demikian tidak kita temukan dalam saluran komunikasi DPRD Kotim, bahkan untuk sekadar informasi umum terkait jumlah dan direktori profil dari anggota DPRD pun nihil. Anggaran yang fantastis, belakangan Setwan DPRD mengusulkan penambahan Rp3,5 miliar tidak dibarengi dengan kinerja yang baik. Setidaknya penilaian singkat ini saya dasarkan pada Indeks Tata Kelola Pemerintahan yang menggunakan enam prinsip tata pemerintahan yang baik (Good Governance) sebagai alat ukur, yaitu partisipasi, keadilan, transparansi, efisiensi, dan efektivitas.

Dari keenam prinsip tersebut, dua prinsip seperti transparansi dan partisipasi muskil dipenuhi, setidaknya dalam konteks pernyataan Sekwan. Melibatkan publik secara aktif tanpa dibarengi dengan prinsip keterbukaan ibarat jauh panggang dari api. Lagipula, tidak pernah ada usulan untuk melibatkan masyarakat, tidak ada ruang partisipasi, bahkan untuk hal-hal dasar seperti jajak pendapat yang dilakukan oleh Sekretariat DPRD Sleman. Padahal, anggaran Sekretariat DPRD Kotim bersumber dari pajak masyarakat dan berdimensi luas, terutama dalam menunjang kinerja pengawasan yang dilakukan oleh DPRD.

Sementara pada aspek efektivitas, perspektif yang harus digunakan adalah masyarakat. Masyarakat sebagai stakeholders adalah pihak yang paling berkepentingan dalam kebijakan ini. Dalam hal ini, dana fantastis Rp65 miliar terlampau cukup untuk sejumlah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Misalnya saja dibuat program dalam rangka mendekatkan anggota DPRD dengan konstituen melalui informasi yang terhimpun secara daring atau mengintegrasikan data digital terkait informasi mengenai profil dan kinerja dari anggota dewan. Layanan publik seperti ini sudah seharusnya dimasifkan secara daring, apalagi jika pemerintah percaya bahwa layanan daring itu sungguh baik bagi publik: lebih cepat, mudah, dan efektif.

BACA JUGA:   Petugas Pemilu KPU dan Bawaslu di Katingan Dilindungi BPJS Ketenagakerjaan

Mengindikasikan Problem Internal

Masih menyoal pernyataan Sekwan. DPA yang diklaimnya berstatus rahasia agar tidak “jatuh ke tangan yang salah” tersebut memunculkan pertanyaan lanjutan. Kalimat “jatuh ke tangan yang salah” mengindikasikan setidaknya dua hal: ketidakpercayaan terhadap staf di internalnya, atau yang kedua, kepada anggota DPRD itu sendiri? Terhadap pertanyaan tersebut nampaknya publik hanya bisa menerka-nerka. Namun, ketidakpercayaan terhadap stafnya sendiri adalah kemungkinan yang mendekati benar. Pasalnya, ia mengatakan bahwa kondisi kantor yang terpisah menyulitkan pengawasan terhadap DPA, dan ia sendiri menyangsikan komitmen stafnya.

Pernyataan tersebut mengindikasikan adanya trust issue di internal Sekretariat Dewan (Setwan). Ketidakpercayaan terhadap staf adalah persoalan substansial yang sudah seharusnya dicari solusinya. Jika pada aspek relasi bawahan-atasan ini saja Sekwan tidak mampu menyelesaikan, bukan tidak mungkin masyarakat sebagai stakeholders pun sulit mengukuhkan kepercayaan pada institusi ini, jika lembaga ini sukar untuk diandalkan. Bagaimana mungkin, fungsi koordinasi yang melekat dalam kesekretariatan dapat terjadi sumbatan hanya karena persoalan trust di antara pegawai?

Menghangatnya situasi internal kesekretariatan juga mengindikasikan absennya prinsip-prinsip profesionalisme dalam pekerjaan. Dalam konteks menjaga profesionalitas, uraian tugas kesekretariatan DPRD sudah jelas memerintahkan pembinaan pegawai guna meningkatkan kinerja dan profesionalisme.

Trust Issue yang dilontarkan Sekwan kepada wartawan juga bisa menjadi fase awal dari krisis kepercayaan publik kepada pemerintah. Dibutuhkan upaya yang terstruktur, sistematis, dan masif agar kepercayaan pulih, apalagi isu ini beririsan dengan penganggaran di APBD yang dinilai tidak wajar. Sampai-sampai salah satu media lokal Kotim memberikan judul headline berita yang amat masygul: “Anggaran DPRD Kotim Membengkak Lukai Hati Rakyat”.