Haruskah “Penyakit” di Rumah Sakit dr Murjani Sampit Didiagnosa

Penulis Nako, S.Kom, SH/Pemimpin Redaksi Berita Sampit

SEBAGAI masyarakat Kabupaten Kotawaringin Timur tentu sangat bangga jika melintas di depan rumah sakit dr Murjani Sampit, bangunan berdiri megah, ditambah lagi dengan pintu masuk yang baru saja menghabiskan anggaran ratusan juta rupiah itu.

Namun sayang, sejumlah persoalan masih saja terjadi di rumah sakit yang menyandang status sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) ini.

Terkadang tidak salah ucapan dan tuntunan masyarakat, bangunan megah harus diimbangi dengan pelayanan yang memuaskan.

Belakangan ini pemberitaan di Berita Sampit tengah menyoroti berbagai pelayanan di rumah sakit dari berbagai keluhan publik, mulai dari antrean di poliklinik, antrean di apotek, hingga pengelolaan limbah, di mana persoalan ini bukan kali pertama terjadi.

Persoalan ini mencuat berawal dari kekecewaan seorang pasien anak yatim yang tidak mampu membayar tidak sampai Rp350 ribu, hingga ditolak dalam mendapatkan pelayanan medis.

Dari situ akhirnya juga terungkap banyak pengalaman menyedihkan yang diungkapkan masyarakat yang pernah berobat di rumah sakit itu.

Bahkan baru-baru ini rekan saya sendiri mengungkapkan kakak kandungnya berobat ke rumah sakit, datang pukul 07.00 WIB ke salah satu poli, hingga pukul 16.00 WIB masih belum juga selesai.

Selain itu kerabatnya saat ingin operasi gigi dirujuk oleh pihak rumah sakit ke Palangka Raya, ironisnya sampai di Palangka Raya pihak rumah sakit sana malah menyebut hal semacam ini tidak perlu sampai ada rujukan karena di Murjani Sampit bisa diatasi.

BACA JUGA:   Apel Serah Terima Regu Pengamanan Wujud dari Kedisiplinan Petugas Lapas Sampit

Banyak persoalan lain yang diungkapkan masyarakat dalam komentar berita pelayanan rumah sakit yang kami muat di media sosial.

Jika satu per satu kami ulas dalam sebuah berita, saya yakin sebulan isu soal keluhan rumah sakit ini tidak akan ada habisnya.

Pihak rumah sakit berdalih, kekurangan dokter spesialis, membludaknya pasien, kurangnya tenaga apoteker, sedikitnya masyarakat daftar secara online hingga harusnya ada penambahan ruangan lagi, merupakan alasan yang kerap dimunculkan saat kasus-kasus di bidang pelayan semacam ini tengah viral.

Kita tentunya berpikir, kok bisa masalah semacam itu seakan sulit diatasi, padahal jika kita melihat rumah sakit swasta di sejumlah daerah, keluhan semacam itu hampir minim terjadi.

Mari kita bandingkan, rumah sakit swasta tanpa ada suntikan dana pemerintah, sarana dan prasarana dibiayai sendiri, tenaga kesehatan digaji sendiri, mereka tetap hidup artinya selama mengelola rumah sakit tentunya tidak ada kata rugi jika tetap bisa bertahan.

Beda dengan rumah sakit pemerintah yang masih merengek bantuan dengan pemerintah daerah, mulai dari pegawai yang berstatus ASN, fasilitas penunjang dan sarana prasarana lainnya yang diadakan dengan dana APBD.

Apakah selama ini pengelolaan rumah sakit kita ini selalu rugi atau ada masalah lain, tentunya ini yang harus dicari tahu apa penyebabnya sehingga persoalan semacam ini tidak seperti penyakit DBD yang selalu ada saat memasuki musim penghujan.

BACA JUGA:   PT SCC Dinilai Ingkar Janji, Koperasi di Cempaga Hulu Lakukan Pemortalan Jalan

Persoalan semacam ini jangan dianggap sepele, saatnya rumah sakit dr Murjani Sampit dikelola dengan baik, pelayanan memuaskan harus dirasakan oleh masyarakat Kotim.

Sehingga tidak ada lagi ucapan dari masyarakat yang membandingkan rumah sakit sekelas di Hanau lebih baik pelayanannya ketimbang rumah sakit sekelas Murjani Sampit.

Di sisi lain juga pekerjaan rumah soal pelayanan yang jadi tuntutan masyarakat harus diprioritaskan saat ini, ketimbang membangun sarana dan prasarana yang tidak ada dampak positifnya kepada masyarakat.

Seperti contoh kecil tahun lalu dana Rp800 juta dihabiskan untuk membangun pagar, padahal jika digunakan untuk mengembangkan fasilitas pelayanan atau bahkan mengangkat tenaga kesehatan apoteker yang katanya kekurangan tentu itu jauh lebih bermanfaat.

Kondisi ini juga harus jadi perhatian pemerintah daerah, karena suksesnya pembangunan di suatu daerah tolak ukurnya adalah sektor pendidikan dan kesehatan.

Selain itu juga kalangan DPRD harus menjalankan fungsi pengawasan mereka, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, dan masalah pelayanan tidak selalu terulang dan apa yang jadi persoalan selama ini harus diungkap dan ada jalan keluarnya.

Saya rasa tentunya semua masyarakat mendukung agar “penyakit” di rumah sakit itu bisa didiagnosa agar bisa diketahui apa penyakitnya dan bisa diobati.

(Penulis Nako, S.Kom, SH/Pemimpin Redaksi Berita Sampit)