Pernyataan Sikap BKMP se-Kalimantan Terkait Kondisi Papua

IST/BERITASAMPIT - Foto bersama usai menyatakan sikap kepada pers.

PALANGKA RAYA – Badan Koordinasi Mahasiswa Papua (BKMP) melakukan aksi dan memberikan pernyataan sikap terkait rentetan kekerasan aparat Tentara Negara Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di tanah Papua, di Asrama Papua Palangka Raya, Sabtu 30 Maret 2024.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) seringkali terjadi di tanah Papua hingga saat ini dari sejak penggabungan Papua Barat ke Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969.

Menurut orang Papua adalah tidak sah dan cacat hukum Internasional, karena tidak sesuai dengan prinsip demokratik dan hukum Internasional.

Penangkapan, penyiksaan, pemukulan, penganiayaan, pemerkosaan, kriminalisasi dan pembunuhan hingga mutilasi terhadap orang pribumi Papua di tanah Papua oleh kolonialisme dan militerisme Indonesia merupakan kejahatan kemanusiaan yang tak kunjung berhenti.

Pada saat ini penangkapan dan penyiksaan yang terjadi terhadap tiga warga sipil atas nama Warinus Murib (18), Definus Kogoya (19), Alius Murib (19), asal Mangume, Distrik Omukia, Kabupaten Puncak Ilaga, Provinsi Papua, pada 3 Februari 2024 lalu sangat sadis.

BACA JUGA:   Polisi Tahan Tersangka Perkelahian di Bekas Dermaga Gudang Gembor Sampit, Begini Kronologinya

Dengan pendekatan militeristik Aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) menangkap dengan tanpa bukti kemudian aparat membawa tiga warga sipil tersebut dibawa langsung ke pos TNI di Kagago Ibu Kota Kabupaten Puncak.

Aparat TNI menuduh ketiga orang tersebut sebagai anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) tanpa bukti, akhirnya aparat melakukan penuduhan, pemukulan dan penyiksaan terhadap 3 warga sipil.

Sejak tahun 1960 an hingga 2024, pembunuhan karakter bahkan pembunuhan misterius hingga nyawa rakyat Papua terus terjadi.

Kita bisa menyimak berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua tidak satu pun diselesaikan oleh negara, pada tahun 1962 sampai tahun 1969, pemerintah Indonesia melakukan operasi militer di Papua untuk merebut Papua dari tangan Belanda, hingga pada tahun 1963 Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM).

Proses penghancuran sejarah dan perebutan hak-hak politik orang Papua ini berlangsung dibawah operasi militer besar-besaran di Papua yang mengakibatkan jatuhnya ribuan korban jiwa dan masih terus berlangsung hingga hari ini.

BACA JUGA:   Korban Tenggelam di Sungai Katingan Belum Ditemukan, Pencarian Dihentikan Sementara

Selain itu, masifnya ekploitasi yang terjadi secara berkelanjutan oleh perusahaan-perusahaan MNC dan TNC mengakibatkan eksistensi dan hak-hak politik rakyat Papua semakin di berangus dan hancur menuju pada proses Slow Genosida, Etnosida dan Ekosida.

Pengurus BKMP se Kalimantan, Fernando Mirip sebagai juru bicara mewakili mahasiwa Papua di Kalimantan mengatakan atas nama kemanusiaan pihaknya menuntut beberapa hal.

Pertama, Presiden Republik Indonesia segera memerintahkan Panglima TNI agar segera tarik pasukan non organik dari seluruh tanah Papua.

Kedua, Presiden Republik Indonesia segera membuka akses wartawan internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke Papua untuk melakukan pemantauan situasi hak asasi manusia di tanah Papua.

Ketiga, Panglima TNI segera copot pangdam cenderawasih dari jabatan, keempat Panglima TNI segera memproses hukum para pelaku penyiksaan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) institusi TNI dan harus dipecat dari status anggota Tentara Nasional Indonesia menjadi rakyat sipil.

(Sya’ban)